Memasuki tahun politik 2018 dan 2019 yang akan datang, isu SARA atau politik identitas semakin marak digunakan untuk menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Penyerangan terhadap rumah ibadah maupun tokoh agama terjadi berturutan di beberapa wilayah di Indonesia.
Di Jawa Timur pada tahun 2018 ini, tercatat adanya pengrusakan Musholla di Tuban, penyerangan ulama di Lamongan, perusakan patung di Pura Mandaragiri di Lumajang, dan ancaman kekerasan di Pondok Pesantren Al Falah di Kediri. Abdul Wachid Habibullah dari LBH Surabaya mengatakan, dalam satu tahun terakhir, LBH Surabaya mencatat ada 49 kasus yang terjadi di Jawa Timur, terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Baca juga: Fabrikasi Teror, Ancaman Serius Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia
“Kenapa kok Jawa Timur itu semakin tinggi tingkat potret pelanggarannya, karena di sini masih ada dua kebijakan yang dikeluarkan oleh Gubernur, yang itu rawan potensinya untuk dijadikan alat untuk pelanggaran HKBB (hak kebebasan beribadah dan berkeyakinan). Satu lagi, Pergub Jawa Timur nomor 55 Tahun 2012 terkait dengan Ajaran Aliran Sesat, dan SK Gubernur Jawa Timur nomor 188 Tahun 2011 tentang Pelarangan Jemaat Ahmadiyah. Dan beberapa kasus yang terjadi itu, catatan kami itu yang melegitimasi kelompok-kelompok masyarakat itu mempersekusi atau melarang aktivitas kelompok agama yang lain," kata Abdul Wachid Habibullah.
Catatan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan menyebutkan telah terjadi 21 peristiwa penyerangan dalam tiga bulan terakhir, di mana 15 peristiwa dilakukan oleh orang yang diduga mengalami gangguan kejiwaan.
Peristiwa penyerangan ini kata Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya, Fatkhur Khoir, tidak dapat dilepaskan dari dugaan kepentingan politik mendekati Pilkada 2018 serta Pileg dan Pilpres 2019. KontraS Surabaya mendorong pemerintah dan aparat penegak hukum untuk mengungkap motif penyerangan itu, agar tidak terjadi di tempat atau waktu yang lain.
“Kita coba cari motif ya, apa sih kepentingan d ibalik semua ini, siapa yang mencoba memainkan isu penyerangan ini ya. Jadi ini yang jadi pemikiran kami selama ini, kami bertanya-tanya. Kami mendorong agar Kepolisian lebih transparan dalam mengungkap peristiwa ini, karena kalau ini tidak diseriusi, saya kira akan menjadi bumerang di kemudian hari,” kata Fatkhul Khoir.
Peristiwa penyerangan dan persekusi menggunakan isu SARA, menurut Anthon Kurniawan dari Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Pusham) Surabaya, tidak dapat dilepaskan dari peristiwa Pilkada DKI Jakarta yang secara nyata membawa isu SARA. Ia mengatakan,pembiaran terhadap kejadian itu, akan dapat memunculkan aksi serupa di tempat lain.
“Titik tolaknya itu kesuksesan mereka mengemas itu kan dari Pilkada DKI Jakarta. Jadi ketika itu tidak ada yang punya perhatian yang lebih terhadap apa yang mereka lakukan misalkan, dengan isu-isu agama itu pasti akan diadopsi ke daerah-daerah yang lain. Yang jelas ada beberapa calon mungkin akan menggunakan isu-isu itu, tapi sampai sekarang saya belum melihat di Jawa Timur ini muncul. Tapi gejala-gejalanya itu, tentang perusakan rumah ibadah dan sebagainya, itu sudah mulai ada, dan saya pikir ini memang tidak boleh dibiarkan,” jelas Anthon Kurniawan.
Aliansi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKBB) Jawa Timur mendesak adanya penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan dan penyebar berita bohong atau hoax, yang dapat mengancam kerukunan umat beragama.
Haidar Adam dari Pusat Studi Hukum dan HAM, Fakultas Hukum, Universitas Airlangga Surabaya mengatakan, penanganan kasus pelanggaran hak kebebasan beragama dan berkeyakinan harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Pihak berwenang, menurutnya juga, harus menyampaikan hasil penyelidikannya secara transparan kepada publik.
Baca juga: Jokowi Minta Polri Lebih Tegas Tangani Kasus Penyerangan Tokoh Agama
“Negara cq Kepolisian ya, itu harus tegas, harus mengambil sikap-sikap atau langkah-langkah yang efektif untuk menangani atau kemudian berusaha untuk menanggulangi permasalahan ini dengan cara misalkan, harus ada transparansi. Transparansi ini menjadi penting, ada standar obyektif yang bisa dipegang bersama, jangan kemudian memberikan pernyataan-pernyataan atau kesimpulan-kesimpulan yang terlalu dini, yang itu tanpa didahului dengan usaha-usaha atau verifikasi yang lebih mendalam,” kata Haidar Adam. [pr/ab]