Menyusul beberapa aksi terorisme di Poso, Sulawesi Tengah, dalam beberapa waktu terakhir, mulai dari ledakan bom rakitan sampai pembunuhan polisi, para pengamat mengatakan bahwa kelompok teroris masih menjadikan daerah itu sebagai basis pertahanan mereka.
Peneliti dan penulis buku tentang terorisme, Solahuddin, mengatakan pada sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (18/10) bahwa polisi mendapat kesulitan untuk menindak karena kelompok teroris ini mendapat dukungan dari masyarakat sipil.
Menurut Solahuddin, yang sempat menjadi peneliti di International Crisis Group (ICG), pasca perjanjian perdamaian pada Desember 2001 di Malino, Poso itu betul-betul dijadikan daerah qoidah aminah atau daerah basis.
“Salah satu daerah dijadikan basis adalah karena secara geografis bagus buat gerilya, dan kedua, ada dukungan dari masyarakat. Kalau kita melihat kasus pada 2007, salah satu alasan kenapa polisi begitu sulit menangkap pelaku teror, itu karena dukungan masyarakat begitu kuat disana,” ujar Solahuddin, di sela-sela sebuah diskusi yang diadakan oleh Jakarta Foreign Correspondent Club.
“Seperti halnya daerah Tanah Runtuh Poso adalah basisnya JI (Jemaah Islamiah), polisi yang mau menangkap para pelaku teror ditahan oleh masyarakat, masyarakat yang melakukan perlawanan. Hal itu terjadi, orang-orang JI lah yang menyelamatkan warga saat peristiwa konflik di Poso. Nah, Poso sampai sekarang masih memenuhi syarat-syarat itu.“
Setelah penangkapan beberapa orang terduga teroris di Poso pada September dan awal Oktober, terjadi ledakan bom rakitan di rumah seorang warga di Poso Kota Selatan serta di sekitar Komplek Pertigaan Gereja Imanuel Taripa Kecamatan Pamona Timur Kabupaten Poso. Kemudian warga Poso kembali dikejutkan oleh penemuan dua jenazah anggota polisi yang terkubur dalam satu lubang di hutan Dusun Tamanjeka, Desa Masani, Poso. Polisi menduga hilangnya kedua polisi itu terkait dengan beberapa aksi teror yang melanda Poso.
Menurut Solahuddin, kelompok teroris ini telah melakukan perubahan pola penyerangan yaitu dengan membunuh polisi.
“Salah satu metode penyerangan yang mereka sukai sekarang ini adalah ikhtialad, semacam assassination karena murah meriah. Yang kedua, kritikan banyak muncul di kalangan jihadi ini adalah aksi-aksi terror itu banyak yang miss target, dengan banyaknya jatuh korban justru dari orang-orang Islam. Saya pikir penculikan menjadi sesuatu hal yang mereka sukai. Jadi misalnya penculikan polisi di daerah-daerah yang tingkat keamanannya tidak terlalu ketat, mereka akan lakukan itu. Penembakan-penembakan juga masih akan dilakukan. Sasaran untuk di Poso, masih diarahkan ke polisi, karena mereka ada dendam,” ujarnya.
Setelah kasus Tanah Runtuh 2007 kelompok-kelompok militan seperti JI dan Kayamaya mulai redup setelah penangkapan para tokoh-tokohnya. Baru pada periode 2010 sisa kekuatan yang ada mulai menata organisasi dengan dipimpin oleh Santoso yang saat ini masih buron, ujar Solahuddin. Santoso menyatukan kelompok-kelompok militan di luar Poso, dan kemudian membangun pelatihan militer di Poso.
“Ada kelompok dari Medan yaitu kelompok Sabar, yang morat marit setelah kasus perampokkan Bank CIMB Niaga. Kemudian ada kelompok dari jawa yang dipimpin oleh Badri. Badri dan kelompoknya membantu kelompoknya Santoso untuk melatih pembuatan bom. Yang menyatukan mereka adalah pembentukan pelatihan militer,” ujar Solahuddin.
“Rencananya mereka mau membuat kelompok baru jihad dari kelompok-kelopk yang kecil itu dan disatukan di Poso. Hanya saja setelah ada penangkapan di Solo dan penangkapan Imron di Palu. Setelah itu mereka mulai melakukan penembakan dan penculikan terhadap polisi.”
Direktur eksekutif The Institute for International Peace Building Noor Huda Ismail mengatakan pemerintah harus melakukan pendekatan secara khusus untuk masyarakat Poso.
“Pemerintah selama ini selalu menyamakan antara pelaku teror di Jawa dengan pelaku yang ada di wilayah konflik. Jangan lagi terjadi pemisahan yang sangat kentara antara yang pro dan yang kontra. Memang kerja-kerja di akar rumput begitu. Ada orang-orang mantan teroris atau mantan laskar justru digunakan oleh politisi untuk mengamankan proyek-proyek mereka, atau istilahnya jihadis project,” ujar Huda.
Deradikalisasi
Untuk mengatasi kelompok-kelompok teror ini, Solahuddin mengatakan bahwa pemerintah harus melakukan dua pendekatan yaitu pendekatan keras melalui penegakan hukum dan pendekatan lembut.
“Masalahnya negara seringkali absen dalam penegakan hukum kasus-kasus kekerasan. Konsekuensi tidak sebanding dengan apa yang dilakukan. Para pihak yang membunuh kelompok Ahmadiyah di Ciketing, misalnya, hanya dihukum beberapa bulan,” ujar Solahuddin.
“Pesan yang sampai karena kurangnya penegakkan hukum ini adalah bahwa teror atau kekerasan adalah sesuatu yang aman dan mudah untuk mencapai tujuan karena tidak ada hukuman yang keras.”
Dalam pendekatan yang lembut (soft approach), pemerintah harus menggunakan ulama-ulama berpengaruh yang memiliki ajaran yang serupa dengan kelompok-kelompok yang disasar, ujar Solahuddin.
Noor Huda Ismail mengatakan bahwa dalam program deradikalisasi, para kelompok teroris harus dirangkul dan diberi harga diri dan kehormatan.
“Jangan belum-belum menggunakan pendekatan ideologi dan pendekatan keamanan. Karena pendekatan keamanan terlalu hitam putih dalam melabel orang baik dan buruk,” ujarnya.
Sementara itu pengamat politik Dewi Fortuna Anwar, yang juga staf wakil presiden untuk program deradikalisasi, mengatakan bahwa program tersebut harus lebih fokus pada kelompok-kelompok yang rentan.
“Pendidikan dan sekolah harus diperkuat,” ujarnya. (VOA/Andylala Waluyo dan Hera Diani)
Peneliti dan penulis buku tentang terorisme, Solahuddin, mengatakan pada sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (18/10) bahwa polisi mendapat kesulitan untuk menindak karena kelompok teroris ini mendapat dukungan dari masyarakat sipil.
Menurut Solahuddin, yang sempat menjadi peneliti di International Crisis Group (ICG), pasca perjanjian perdamaian pada Desember 2001 di Malino, Poso itu betul-betul dijadikan daerah qoidah aminah atau daerah basis.
“Salah satu daerah dijadikan basis adalah karena secara geografis bagus buat gerilya, dan kedua, ada dukungan dari masyarakat. Kalau kita melihat kasus pada 2007, salah satu alasan kenapa polisi begitu sulit menangkap pelaku teror, itu karena dukungan masyarakat begitu kuat disana,” ujar Solahuddin, di sela-sela sebuah diskusi yang diadakan oleh Jakarta Foreign Correspondent Club.
“Seperti halnya daerah Tanah Runtuh Poso adalah basisnya JI (Jemaah Islamiah), polisi yang mau menangkap para pelaku teror ditahan oleh masyarakat, masyarakat yang melakukan perlawanan. Hal itu terjadi, orang-orang JI lah yang menyelamatkan warga saat peristiwa konflik di Poso. Nah, Poso sampai sekarang masih memenuhi syarat-syarat itu.“
Setelah penangkapan beberapa orang terduga teroris di Poso pada September dan awal Oktober, terjadi ledakan bom rakitan di rumah seorang warga di Poso Kota Selatan serta di sekitar Komplek Pertigaan Gereja Imanuel Taripa Kecamatan Pamona Timur Kabupaten Poso. Kemudian warga Poso kembali dikejutkan oleh penemuan dua jenazah anggota polisi yang terkubur dalam satu lubang di hutan Dusun Tamanjeka, Desa Masani, Poso. Polisi menduga hilangnya kedua polisi itu terkait dengan beberapa aksi teror yang melanda Poso.
Menurut Solahuddin, kelompok teroris ini telah melakukan perubahan pola penyerangan yaitu dengan membunuh polisi.
“Salah satu metode penyerangan yang mereka sukai sekarang ini adalah ikhtialad, semacam assassination karena murah meriah. Yang kedua, kritikan banyak muncul di kalangan jihadi ini adalah aksi-aksi terror itu banyak yang miss target, dengan banyaknya jatuh korban justru dari orang-orang Islam. Saya pikir penculikan menjadi sesuatu hal yang mereka sukai. Jadi misalnya penculikan polisi di daerah-daerah yang tingkat keamanannya tidak terlalu ketat, mereka akan lakukan itu. Penembakan-penembakan juga masih akan dilakukan. Sasaran untuk di Poso, masih diarahkan ke polisi, karena mereka ada dendam,” ujarnya.
Setelah kasus Tanah Runtuh 2007 kelompok-kelompok militan seperti JI dan Kayamaya mulai redup setelah penangkapan para tokoh-tokohnya. Baru pada periode 2010 sisa kekuatan yang ada mulai menata organisasi dengan dipimpin oleh Santoso yang saat ini masih buron, ujar Solahuddin. Santoso menyatukan kelompok-kelompok militan di luar Poso, dan kemudian membangun pelatihan militer di Poso.
“Ada kelompok dari Medan yaitu kelompok Sabar, yang morat marit setelah kasus perampokkan Bank CIMB Niaga. Kemudian ada kelompok dari jawa yang dipimpin oleh Badri. Badri dan kelompoknya membantu kelompoknya Santoso untuk melatih pembuatan bom. Yang menyatukan mereka adalah pembentukan pelatihan militer,” ujar Solahuddin.
“Rencananya mereka mau membuat kelompok baru jihad dari kelompok-kelopk yang kecil itu dan disatukan di Poso. Hanya saja setelah ada penangkapan di Solo dan penangkapan Imron di Palu. Setelah itu mereka mulai melakukan penembakan dan penculikan terhadap polisi.”
Direktur eksekutif The Institute for International Peace Building Noor Huda Ismail mengatakan pemerintah harus melakukan pendekatan secara khusus untuk masyarakat Poso.
“Pemerintah selama ini selalu menyamakan antara pelaku teror di Jawa dengan pelaku yang ada di wilayah konflik. Jangan lagi terjadi pemisahan yang sangat kentara antara yang pro dan yang kontra. Memang kerja-kerja di akar rumput begitu. Ada orang-orang mantan teroris atau mantan laskar justru digunakan oleh politisi untuk mengamankan proyek-proyek mereka, atau istilahnya jihadis project,” ujar Huda.
Deradikalisasi
Untuk mengatasi kelompok-kelompok teror ini, Solahuddin mengatakan bahwa pemerintah harus melakukan dua pendekatan yaitu pendekatan keras melalui penegakan hukum dan pendekatan lembut.
“Masalahnya negara seringkali absen dalam penegakan hukum kasus-kasus kekerasan. Konsekuensi tidak sebanding dengan apa yang dilakukan. Para pihak yang membunuh kelompok Ahmadiyah di Ciketing, misalnya, hanya dihukum beberapa bulan,” ujar Solahuddin.
“Pesan yang sampai karena kurangnya penegakkan hukum ini adalah bahwa teror atau kekerasan adalah sesuatu yang aman dan mudah untuk mencapai tujuan karena tidak ada hukuman yang keras.”
Dalam pendekatan yang lembut (soft approach), pemerintah harus menggunakan ulama-ulama berpengaruh yang memiliki ajaran yang serupa dengan kelompok-kelompok yang disasar, ujar Solahuddin.
Noor Huda Ismail mengatakan bahwa dalam program deradikalisasi, para kelompok teroris harus dirangkul dan diberi harga diri dan kehormatan.
“Jangan belum-belum menggunakan pendekatan ideologi dan pendekatan keamanan. Karena pendekatan keamanan terlalu hitam putih dalam melabel orang baik dan buruk,” ujarnya.
Sementara itu pengamat politik Dewi Fortuna Anwar, yang juga staf wakil presiden untuk program deradikalisasi, mengatakan bahwa program tersebut harus lebih fokus pada kelompok-kelompok yang rentan.
“Pendidikan dan sekolah harus diperkuat,” ujarnya. (VOA/Andylala Waluyo dan Hera Diani)