Usai diskusi mengenai fluktuasi nilai tukar rupiah yang berlangsung di Jakarta, Sabtu (20/12), pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, Berly Martawardaya berpendapat, mata uang rupiah di Indonesia justru tidak memiliki peran banyak, karena kegiatan ekonomi mayoritas menggunakan mata uang dolar Amerika. Kondisi tersebut ditambahkannya membuat peran rupiah lemah dan sangat rentan terhadap isu-isu global.
“Kita harus dorong betul-betul rupiah menjadi tuan rumah dinegara sendiri, transaksi ritel seperti hotel, tiket maupun transaksi yang besar seperti energi, kontrak-kontrak minyak, gas itu harus dalam rupiah dan itu domain pemerintah,” kata Berly Martawardaya.
"Tinggal penegasannya 'kan, kemudian yang jangka menengahnya adalah kurangi impor, meningkatkan ekspor, dan tekan inflasi, nah ini faktor-faktor yang sifatnya fundamental, juga kemudian diperhitungkan oleh para pelaku pasar," imbuhnya.
Pada kesempatan sama, Direktur The Currency Management Board, Farial Anwar mengatakan, fluktuasi nilai tukar rupiah diperkirakan akan bergejolak hingga Bank Sentral Amerika memastikan menaikkan tingkat suku bunga.
“Trend rupiah ini akan berpotensi berlanjut sampai dengan pertengahan tahun depan, barangkali karena ketidakpastian kenaikan suku bunga the fed. Kita belum tahu kapannya, berapa besarnya, sementara dari dalam negeri sendiri permintaan dolarnya luar biasa besar tidak diimbangi oleh suplai," kata Farial Anwar.
"Kita kekeringan likuiditas. Permintaan itu untuk impor, untuk bayar utang valuta asing, ditambah lagi yang tidak ada kepentingannya dengan transaksi luar negeri karena orang lebih cenderung memilih pembayaran itu didalam dolar,” lanjutnya.
Farial Anwar menambahkan, kedepannya nanti pemerintah dan Bank Indonesia harus bekerjasama lebih baik dibanding sebelumnya jika ingin menerapkan kebijakan.
Tekanan terhadap rupiah kali ini menurutnya juga dipengaruhi oleh kenaikan harga bahan bakar minyak atau BBM bersubsidi. “Saya kok lebih melihat peranan Bank Indonesia. Kalau peranan pemerintah saya sudah tidak lagi pernah berharap. Karena ini salah satu yang kemungkinan kekeliruan di dalam kebijakan, adalah ketika ada informasi Bank Sentral Amerika mau naikkan tingkat suku bunga sudah ada gejolak, ditambah lagi bebannya dengan kenaikan BBM, tidak ada orang mau memegang mata uang yang terkena inflation karena kenaikan BBM itu," tambah Farial Anwar.
"Ini kebijakan yang mungkin benar tapi timingnya salah, tetapi siapa yang tanggung? sekarang Bank Indonesia yang babak belur karena Bank Indonesia tugasnya mengendalikan inflasi dan juga nilai tukar rupiah,” imbuhnya.
Farial Anwar menegaskan ada beberapa langkah sebagai upaya menjaga nilai tukar rupiah tidak mudah tertekan.
“Segera revisi Undang-Undang Lalu Lintas Devisa, jangan biarkan asing bisa masuk kapan saja, bisa keluar kapan saja tanpa ada pengendalian harus bertahan berapa lama, ini yang membuat ketika mereka masuk kita senang kelihatannya, begitu mereka keluar kita yang harus babak belur menanggung gejolaknya," kata Farial Anwar.
"Itu bukan di foreign direct investment tapi hot money, uang yang masuk ke pasar keuangan, manfaatnya kepada ekonomi kita relatif tidak besar,” jelasnya.