Hidup dalam keterbatasan, dengan listrik yang hanya menyala beberapa jam, tidak menyurutkan tekad tiga pemuda Indonesia untuk menuntut ilmu sekaligus menjadi sukarelawan di Jalur Gaza, Palestina. Mereka menuturkan pengalaman berpuasa Ramadan yang tahun ini berlalu dengan tenang di wilayah yang sudah hampir 15 tahun diblokade Israel, senantiasa terancam perang dan dilanda pandemi COVID-19.
Hidup dalam zona konflik dengan ancaman perang setiap saat, sangatlah menantang. Dalam dua tahun ini, tantangan ditambah pandemi COVID-19. Namun, itu tidak menyurutkan tekad tiga pemuda Indonesia untuk bertahan di Jalur Gaza dan menuntut ilmu di Islamic University of Gaza (IUG).
Tahun ini memasuki tahun ketiga Fikri Rofiul Haq, 23, berada di Gaza. Ia kuliah jurusan Ushuluddin di IUG selain bekerja sebagai relawan Medical Emergency Rescue Committee (MER-C). Ia mengungkapkan tentang situasi Ramadan di sana.
“Alhamdulillah, sejauh ini lancar,” tutur Fikri.
Bersama Fikri ada Farid, 20, yang hobi memasak. Mereka datang pada Februari 2020 ketika dunia mulai dilanda perebakan virus corona. Sebelum mereka, ada Reza Aldilla Kurniawan, 29, yang kini sudah lulus kuliah tetapi masih di sana, menunggu beasiswa untuk melanjutkan pendidikan.
Ketiganya mengungkapkan rasa syukur karena Jalur Gaza tahun ini relatif tenang dan COVID-19 terkendali sehingga mereka bisa menjalankan puasa dan tarawih bersama masyarakat di masjid. Ramadan tahun lalu, Gaza terlibat perang 11 hari dengan Israel.
Ketiadaan perang memudahkan kegiatan ketiga pemuda itu dalam keterbatasan karena sudah hampir 15 tahun Jalur Gaza diblokade Israel. Sebisanya mereka menghadirkan kehangatan yang biasa mereka alami di tanah air.
Farid turun ke dapur. Dengan bantuan video call dengan ibunya ia memasak. “Bikin bakwan, masak terong goreng dicabein dengan ikan teri. Ya bikin ala gorengan-gorengan Indonesia yang ala kadarnya,” tukasnya.
Sayur mayur mudah didapat. Ikan dan udang melimpah, walau mahal bagi relawan. Yang sering mereka nikmati adalah ayam bakar. Tetapi tidak mudah mencari bumbu di sana.
“Bumbu juga sedapatnya saja. Kecap juga jarang banget. Jadi, kita ganti dengan sari kurma,” kata Reza.
Hidup dalam ketersediaan gas terbatas, aliran listrik tiga sampai empat jam sehari, tidak menghalangi warga Gaza menjamu orang yang belum mereka kenal sekalipun. Sukarelawan Indonesia bak selebritis yang diundang ke sana-sini. Undangan ini tentu tidak dilewatkan para mahasiswa.
“Yang jelas, mereka kalau ngundang, selalu ada gitu. Walaupun, kalau kita tahu ya, sebenarnya mereka tidak punya apa-apa di rumahnya. Tapi kalau pas mereka ngundang, itu benar-benar over banget gitu,” tambah Reza.
Mengapa orang Gaza seperti memaksakan diri untuk memberi suguhan? Reza menjelaskan, “Pahala memberi makan orang berbuka puasa, kan sama seperti pahalanya orang berpuasa. Yang kedua, mereka menganggap kita saudara.”
Jalur Gaza dan Tepi Barat terpecah secara politik. Namun dalam penentuan awal Ramadan dan Syawal, mereka bersatu, mengikuti keputusan Arab Saudi. Tahun ini, 1 Syawal 1443 H atau Idul Fitri ditetapkan pada 2 Mei 2022.
Pada Idul Fitri, Fikri, Reza dan Farid, berbaur dengan orang Gaza umumnya piknik ke pantai dan bermain bola. Sebelum itu, ketika takbir berkumandang, dinding keteguhan pemuda sukarelawan ini runtuh. Sebagai lelaki, mereka bertahan untuk tidak menangis.
“Insyaa Allah cuma sedih. Tidak menangis,” kata Reza.
“Gak nangis sih. Cuma (mata) berkaca-kaca," timpal Farid.
“Cuma merenung,” pungkas Fikri. [ka/ab]