Tautan-tautan Akses

Pengakuan Mantan Pentolan Geng Sekolah: Dari Tawuran, Klitih, hingga Menculik Demi Reputasi


Lima siswa tersangka pelaku aksi kekerasan yang merupakan anggota sebuah geng sekolah dihadirkan di Polda Daerah Istimewa Yogyakarta, pada 11 April 2022 (foto: ilustrasi).
Lima siswa tersangka pelaku aksi kekerasan yang merupakan anggota sebuah geng sekolah dihadirkan di Polda Daerah Istimewa Yogyakarta, pada 11 April 2022 (foto: ilustrasi).

Kasus dugaan perundungan dan kekerasan di Binus School Serpong, Banten, menyoroti fenomena geng pelajar yang lazim ada di berbagai sekolah di tanah air. VOA berbicara kepada dua mantan anggota geng sekolah untuk memahami lebih jauh fenomena yang lekat dengan aksi tawuran dan perundungan itu.

Kasus kekerasan terhadap seorang siswa yang dilakukan segerombolan pelajar yang tergabung dalam kelompok bernama Geng Tai di Binus School Serpong, Banten, menimbulkan pertanyaan: Seberapa jauh sekolah mengetahui aktivitas geng tersebut dan apa tindakan yang diambil – jika ada – untuk mengatasi penyimpangan yang terjadi selama ini?

Hingga berita ini diterbitkan, Humas Binus School Serpong Haris Suhendra belum merespons permintaan tanggapan dari VOA.

Sementara itu, pada 21 Februari, tidak lama setelah insiden mengemuka, melalui laman Instagram @binusschoolserpong, pihak sekolah menyatakan bahwa mereka menerapkan “zero tolerance policy”, alias kebijakan yang sama sekali tidak menoleransi tindakan kekerasan fisik, psikis maupun emosional di dalam maupun luar sekolah.

Jumat (1/3) lalu, Polresta Tangerang Selatan akhirnya menetapkan empat tersangka dan delapan anak yang berkonflik dengan hukum (ABH) dalam kasus dugaan perundungan dan kekerasan di sekolah itu.

Pengakuan Mantan Pentolan Geng

Kelompok sebaya (peer group) berperan besar menentukan kecenderungan perilaku siswa di sekolah. Ketika seorang pelajar berteman dengan sekelompok pelajar lain yang memiliki tendensi melakukan tindakan menyimpang, ia berpotensi melakukan tindakan serupa.

“Norma itu tergantung kesepakatan,” ungkap Wahyu Kustiningsih, peneliti dan dosen Departemen Sosiologi Universitas Gadjah Mada (UGM), kepada VOA melalui sambungan telepon (1/3).

“Ketika suatu grup (yang menyimpang) terdiri dari banyak teman sebaya, kemudian punya persamaan persepsi, nilai, tindakan dan sebagainya, bagi mereka, mereka nggak menyimpang,” sambungnya.

Dirreskrimum Polda DI Yogyakarta, Kombespol Ade Ary Syam Indriadi menunjukkan gir sepeda motor diikat dalam sabuk bela diri sebagai barang bukti, yang membuat korban D tewas (foto: ilustrasi).
Dirreskrimum Polda DI Yogyakarta, Kombespol Ade Ary Syam Indriadi menunjukkan gir sepeda motor diikat dalam sabuk bela diri sebagai barang bukti, yang membuat korban D tewas (foto: ilustrasi).

Wawancara VOA dengan dua mantan anggota geng pelajar di Yogyakarta membuktikan hal itu.

Riding the wave aja – kita ngikuti arus,” celetuk Ridho, yang memilih menggunakan nama samaran karena menceritakan apa yang dianggapnya sebuah aib, kepada VOA (28/2).

Ridho bergabung dengan geng pelajar di salah satu sekolah menengah atas di Yogyakarta dari 2011 hingga 2013, ketika fenomena geng masih marak di kota dengan julukan kota pelajar itu. Alasannya, ia ingin “merasa laki” dan tidak menjadi anak culun.

“Anak cowok masa nggak nakal?” ujarnya. “Nakal sama pintar atau berprestasi itu beda. Bahkan anak pintar yang berprestasi ikut geng-gengan juga ada.”

Adik sepupu Ridho, yang terpaut tiga tahun darinya, juga terlibat geng pelajar, bahkan sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP). Ketika menginjak SMA, Ferdi, yang juga menggunakan nama samaran, ditunjuk menjadi pentolan geng di angkatannya. Ia bersekolah di SMA yang sama dengan Ridho.

“Pengin cari eksistensi, biar banyak dikenal sama teman-teman,” tutur Ferdi kepada VOA pada kesempatan terpisah (3/3). “Salah pergaulan juga kita bodoh amat, karena kita cari eksistensi itu.”

Sepulang sekolah, ia dan gengnya biasanya berkumpul di warung belakang sekolah untuk nongkrong sambil merokok, terkadang bahkan ditemani minuman keras dan narkoba. Di tempat yang mereka jadikan markas itu, Ferdi dan teman-temannya biasanya merencanakan aksi untuk menyerang “sekolah musuh”.

Rivalitas antarsekolah sudah turun-temurun diwariskan dari angkatan ke angkatan. Ia mengklaim, gengnya selalu beraksi atas dasar membela sekolah dan melindungi teman-teman satu sekolahnya dari serangan geng sekolah rival.

Ia mengaku menikmati adrenalin saat melakukan aksi-aksi menyimpang itu. Bagaimana tidak, Ferdi merasa mendapat respek dari semua angkatan.

“Semakin nekat kita melakukan sesuatu, malah kita anggap waktu itu semakin hebat, semakin reputasiku naik,” ujarnya

Aksi yang mereka lancarkan rupa-rupa, dari melempari gedung sekolah lawan dengan batu, tawuran, hingga melakukan aksi klitih, yang pada masa itu memiliki makna berkeliling untuk menyerang siswa dari sekolah musuh.

“Kita pernah menculik orang, menculik siswa lain dari SMA rival. Kita culik mereka dengan cara klitih,” ungkap Ferdi.

Korban biasanya dipilih secara acak dari SMA lawan. Mereka akan diancam dengan senjata tajam sebelum dibawa ke “tempat tongkrongan.” Ferdi dan gengnya akan melucuti atribut sekolah yang dikenakan korban dan menyimpannya sebagai suvenir untuk dipamerkan ke teman-teman mereka.

“Tapi setelah itu ya memang ada sedikit dipukuli, pokoknya dibuat – istilahnya – babak belur, biar ketika difoto kan kelihatan down buat ditunjukin ke leader (geng) dari SMA sebelah,” urainya. “Terus… udah, kita lepaskan.”

Pada saat itu, ia mengaku tidak merasa bersalah, karena “kita waktu SMA berpikiran pendek” dan “nggak sampai mengambil nyawa orang.”

Ridho pun menyampaikan pendapat serupa.

“Kita masih manusiawi. Kalau pakai sajam (senjata tajam, red.) itu tuh masih… cuma hanya melukai. Kalau sudah (dilukai), langsung cabut (pergi, red.),” tutur Ridho.

Ia menceritakan, pada masanya, lebih dari satu dekade lalu, hampir separuh siswa laki-laki dari setiap kelas di sekolahnya bergabung dengan geng. Untuk menjadi anggota geng, mereka harus bertarung satu lawan satu melawan kakak angkatan. Tujuannya untuk mengasah keberanian, kata Ridho.

Akan tetapi, orang tuanya tidak pernah tahu ia terlibat. “Saya istilahnya main cantik,” ujar Ridho.

‘Kultur yang Tak Bisa Hilang’

“Dulu, wah, kacau di Jogja, pulang sekolah itu rasanya nggak aman,” kenang Ridho.

Saking maraknya aksi tawuran pelajar di Yogyakarta pada masa itu, Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta mengeluarkan SK Dinas Pendidikan Yogyakarta No. 188/147/2008 yang mewajibkan seluruh pelajar di kota itu mengganti bet atau tanda pengenal sekolah yang biasanya dipasang pada lengan seragam dengan bet netral bertuliskan “Pelajar Kota Yogyakarta.” Harapannya, aksi geng sekolah yang mengincar pelajar dari sekolah rival, yang biasanya diidentifikasi dari bet sekolah mereka, bisa diredam.

Ridho menuturkan, pihak sekolah mengetahui keberadaan gengnya. Ia menceritakan bagaimana pada suatu hari manajemen sekolahnya dan sekolah rivalnya pernah memanggil pentolan geng masing-masing sekolah ke kantor polisi untuk menandatangani surat bermaterai, berisi perjanjian untuk tidak akan lagi terlibat tawuran satu sama lain.

Suatu waktu, Ridho ingat, sekolah juga pernah membubarkan gengnya.

“Hanya dibubarkan aja, tapi pada praktiknya, ya, pasti kumpul-kumpul lagi. Pasti kejadian lagi,” ujarnya.

Geng itu tidak pernah benar-benar lenyap, “karena itu kultur yang memang benar-benar nggak bisa hilang,” kata Ridho.

Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mengemukakan sentimen senada. Menurut organisasi itu, geng pelajar menyimpang sulit diberantas.

“Gerakan mereka kadang tidak terdeteksi oleh guru,” ungkap Heru Purnomo, sekretaris jenderal FSGI, melalui sambungan telepon kepada VOA, Jumat (1/3).

Aktivitas mereka biasanya terlambat diketahui pihak sekolah. Setelah insiden terjadi, sekolah baru mengambil tindakan – itu pun tanpa jaminan peristiwa serupa tidak akan terulang lagi.

Heru Purnomo, Sekjen FSGI (foto: dok pribadi).
Heru Purnomo, Sekjen FSGI (foto: dok pribadi).

“(Anggota) geng di satu sekolah itu kan silih berganti. Tumbuh, teratasi, hilang, lenyap, muncul kembali. Selalu seperti itu,” lanjut Heru. “Pihak sekolah selalu berupaya mengatasi. Begitu mengatasi, terselesaikan. Adem ayem. (Tapi) kemungkinan yang akan datang muncul kembali.”

Heru mengakui, pengawasan guru terhadap anak didik di lingkungan sekolah terkadang tidak optimal karena kompleksitas tugas guru sendiri. Selain mengawasi para pelajar, guru harus bisa mengoptimalkan jam kerja mereka untuk mengajar di kelas, melakukan koreksi pekerjaan para siswa, memberikan penilaian serta membuat perencanaan pembelajaran.

“Karena adanya keterbatasan, yaitu adanya keterbatasan waktu, tenaga dan pikiran,” tutur kepala sekolah SMP Negeri 27 Jakarta itu.

“Tentu saja melakukan pengawasan tidak hanya peran Bapak-Ibu guru, jajaran manajemen sekolah,” tambahnya.

Sosiolog UGM Wahyu Kustiningsih sepaham. Meski krusial, pengawasan guru harus dibarengi bimbingan dan pengawasan dari orang tua.

“Kadang kala orang tua menyerahkan pendidikan penuh kepada sekolah,” kata Wahyu, yang pada tahun 2013 melakukan penelitian tentang karakteristik perilaku kekerasan anak muda di Yogyakarta dan Surakarta.

“Padahal itu tanggung jawab orang tua, soal pengasuhan dan sebagainya. Jadi banyak level actor yang harusnya terlibat di sini, tidak bisa serta merta ketika, contoh, kasus yang Binus kemudian (sepenuhnya) salahnya Binus. Nggak. Ada berbagai pihak yang harus diidentifikasi peranannya,” urainya.

‘Kebodohan yang Benar-benar Bodoh’

Wahyu melihat pergeseran pola perilaku anak muda, termasuk pelajar, dalam setidaknya satu dekade terakhir. Akses telepon pintar dan media sosial yang meningkat pesat selama sepuluh tahun terakhir, mengubah kebiasaan mereka dalam berinteraksi sosial.

“Mungkin dulu suka nongkrong, sekarang nggak. Nongkrong pun kalau diperhatikan di berapa kafe yang ada di sekitar kita, itu kan udah sibuk sama laptop dan gadget,” ujar Wahyu.

Di sisi lain, sifat remaja yang masih labil tetap melekat pada diri mereka. Wahyu mengamati, semakin besarnya perhatian generasi muda terhadap isu kesehatan mental belakangan ini justru membuat mereka semakin rentan.

Wahyu Kustiningsih, Sosiolog UGM (foto: dok pribadi).
Wahyu Kustiningsih, Sosiolog UGM (foto: dok pribadi).

“Pemuda sekarang itu rentan. Satu sisi rentan, tapi satu sisi butuh eksis, butuh menunjukkan… butuh rekognisi orang,” jelas Wahyu. “Untuk sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya, mereka mudah marah, kemudian mereka mudah bergejolak emosinya.”

Dengan pergeseran tersebut, Wahyu justru khawatir perilaku menyimpang anak muda, termasuk mereka yang tergabung dalam geng sekolah, justru semakin masif, karena pergerakan mereka yang bisa dilakukan secara lebih tidak kentara di dunia maya.

Keprihatinan yang sama diutarakan Ridho, yang berkaca pada masa-masa ketika ia tergabung dalam geng pelajar di SMA dulu.

“Sekarang kan eranya era viralisme, sangat beda dengan dulu zaman kita. Handphone juga handphone apa. Media sosial juga nggak se-happening sekarang,” komentarnya.

Namun demikian, dari pengamatannya, keberadaan geng pelajar di Yogya justru semakin berkurang. Hal itu tidak lepas dari masifnya pemberitaan media massa terkait fenomena klitih, kata Ridho. Klitih, yang dulu dilakoni gengnya untuk mengincar siswa sekolah rival, kini lebih sering diasosiasikan dengan tindakan kriminal individu yang ingin mencelakai dan merebut harta benda korban, alih-alih sebuah bentuk kenakalan remaja.

“Udah semakin habis, orang sudah malu,” celetuk Ridho.

Sekarang, Ridho dan Ferdi masing-masing sudah berkeluarga. Dalam sesi wawancara terpisah, keduanya sama-sama tidak ingin anak-anak mereka terlibat dalam kegiatan-kegiatan menyimpang yang geng mereka lakukan dulu.

“Anak saya ya jelas nggak akan saya bolehkan, karena kan itu banyak ketidakmanfaatannya, ya banyak negatifnya,” ungkap Ridho.

Sementara itu, Ferdi menyesal terlibat dalam aktivitas geng pelajar yang kini ia anggap “sebuah kebodohan yang benar-benar bodoh.”

“Kalau bisa ngomong ke diri sendiri, ‘Kamu tuh untung banget nggak mati,’ kayak masih dikasih kesempatan buat hidup sampai berkeluarga saat ini,” tuturnya.

Bagaimana tidak, Ferdi sempat hampir dibacok saat terlibat tawuran dan hampir dikeluarkan dari sekolah tepat sebelum menghadapi ujian nasional kelulusan SMA akibat keterlibatannya dalam berbagai aksi, termasuk penculikan yang ia lakukan.

Saat ditanya, apa pesan untuk para pelajar yang tertarik bergabung dengan geng saat ini, Ridho menjawab, “Disibukkan aja dengan passion, kesukaannya apa, hobi atau (kegiatan) yang positif. Di sekolah kan ada ekskul,” urainya. “Ketika disibukkan dengan hal-hal positif, dengan sendirinya hal negatif itu tidak akan terlampiaskan.” [rd/em]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG