Pihak berwenang di Austria menolak status pengungsi bagi dua perempuan Afghanistan setelah mereka mengajukan suaka pada 2015 dan 2020. Mereka menentang penolakan tersebut di hadapan Mahkamah Administratif Tertinggi Austria, yang kemudian meminta putusan dari ECJ, pengadilan tertinggi Uni Eropa.
"Tidak perlu menetapkan bahwa ada risiko bahwa pemohon akan benar-benar dan secara khusus menjadi sasaran tindakan penganiayaan jika ia kembali ke negara asalnya," kata ECJ dalam putusannya.
"Cukup mempertimbangkan kewarganegaraan dan jenis kelaminnya saja." Kementerian Dalam Negeri Austria tidak segera menanggapi permintaan komentar Reuters.
Sejak Taliban kembali berkuasa di Afghanistan pada 2021, mereka telah mengekang hak-hak perempuan, termasuk pembatasan pendidikan, pekerjaan, dan kemandirian umum dalam kehidupan sehari-hari.
Pada Agustus, Taliban menyusun seperangkat aturan panjang yang mengatur moralitas sesuai dengan syariah (hukum Islam). Aturan tersebut ditegakkan oleh kementerian moralitas, yang mengatakan telah menahan ribuan orang karena melakukan pelanggaran.
Kepala hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa telah meminta Taliban untuk mencabut serangkaian undang-undang "mengerikan" yang katanya berupaya mengubah perempuan menjadi bayangan.
Seorang perempuan, yang disebut AH dalam dokumen pengadilan, pertama kali melarikan diri dari Afghanistan ke Iran bersama ibu dan saudara perempuannya pada usia sekitar 13-14 tahun setelah ayahnya yang pecandu narkoba mencoba menjualnya untuk membiayai kecanduannya, menurut dokumen pengadilan yang menjelaskan klaim AH.
Yang lainnya, diidentifikasi sebagai FN, lahir pada 2007, tidak pernah tinggal di Afghanistan. Dia dan keluarganya telah tinggal di negara tetangga Iran tanpa izin tinggal, yang berarti mereka tidak memiliki pekerjaan yang layak dan dia tidak dapat memperoleh pendidikan. Dia melarikan diri dari Iran sebelum mengajukan permintaan suaka di Austria.
"Dia [FN] mengatakan bahwa jika dia kembali ke Afghanistan, sebagai seorang wanita, dia akan berisiko diculik, tidak akan dapat bersekolah dan mungkin tidak dapat menghidupi dirinya sendiri tanpa keluarganya di sana," kata dokumen kasus ECJ. [es/ft]