Pengadilan di Thailand, Selasa (19/1), menghukum seorang mantan pegawai negeri dengan rekor hukuman penjara 43 tahun dan enam bulan karena melanggar hukum ketat negara itu yang melarang menghina atau mencemarkan nama baik kerajaan.
Organisasi Pengacara HAM Thailand, melaporkan, Pengadilan Kriminal Bangkok memutuskan perempuan itu bersalah atas 29 dakwaan melanggar hukum lese majeste negara itu karena mengunggah sejumlah klip audio di Facebook dan YouTube yang berisi pernyataan-pernyataan orang-orang yang dianggap mengkritik kerajaan.
Hukuman itu, yang dikeluarkan di tengah gencarnya gerakan protes yang mempersoalkan kerajaan, dengan segera dikecam oleh kelompok-kelompok HAM.
“Keputusan pengadilan hari ini mengejutkan dan mengirimkan sinyal mengerikan bahwa tidak hanya kritik terhadap kerajaan yang tidak akan ditoleransi, tetapi pelakunya juga akan dihukum berat,” kata Sunai Phasuk, peneliti senior organisasi Human Rights Watch.
Melanggar hukum lese majeste Thailand, yang dikenal secara luas sebagai Pasal 112, dapat dihukum tiga hingga 15 tahun penjara untuk setiap dakwaannya. Undang-undang tersebut kontroversial tidak hanya karena dapat digunakan untuk menghukum hal-hal yang sederhana seperti menyukai sebuah postingan di Facebook, tetapi juga karena siapa pun, bukan hanya bangsawan atau pihak berwenang, yang dapat mengajukan keluhan yang dapat membuat tertuduh terjerat dalam proses hukum selama bertahun-tahun.
Selama 15 tahun terakhir kerusuhan politik di Thailand, undang-undang itu sering digunakan sebagai senjata politik dan juga balas dendam pribadi. Meski demikian, kritik publik yang sebenarnya terhadap kerajaan sebetulnya sangat jarang terjadi.
Kenyataan itu berubah selama setahun terakhir, setelah para pemuda pengunjuk rasa yang menyerukan reformasi demokrasi juga mengeluarkan seruan untuk reformasi kerajaan. Kerajaan telah lama dianggap sebagai lembaga yang hampir sakral oleh banyak orang Thailand. Para demonstran mengatakan kerajaan telah bersikap tidak bertanggung jawab dan memegang terlalu banyak kekuasaan, padahal seharusnya menjadi lembaga konstitusional yang demokratis.
Pihak berwenang pada awalnya membiarkan banyak komentar dan kritik tanpa tuduhan terhadap kerajaan beredar. Tetapi, sejak November lalu, pemerintah telah menangkap sekitar 50 orang dan menggugat mereka dengan tuduhan melanggar lese majeste.
Setelah Raja Maha Vajiralongkorn naik takhta pada tahun 2016 menyusul kematian ayahnya, ia sebetulnya pernah memberitahu pemerintah bahwa ia tidak ingin melihat hukum lese majeste digunakan. Tetapi ketika aksi protes kian berkembang tahun lalu, dan kritik terhadap kerajaan semakin keras, Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha memperingatkan bahwa batasan telah dilanggar dan hukum itu akan digunakan.
Gerakan protes itu sendiri telah kehilangan momentumnya sejak penangkapan itu dan pembatasan-pembatasan baru pertemuan publik terkait lonjakan kasus virus corona.
Organisasi Pengacara HAM Thailand mengidentifikasi perempuan yang dijatuhi hukuman, Selasa, hanya dengan nama depannya Anchan dan berusia pertengahan enam puluhan. Pengadilan awalnya mengumumkan hukumannya 87 tahun, tetapi dikurangi setengahnya karena ia mengaku bersalah atas pelanggaran tersebut.
Kasusnya berawal enam tahun lalu, ketika sentimen antikemapanan tumbuh setelah kudeta militer 2014 yang dipimpin oleh Prayuth. Perempuan itu ditahan di penjara dari Januari 2015 hingga November 2018.
Pada awalnya, ia membantah tuduhan tersebut ketika kasusnya pertama kali disidangkan di pengadilan militer. Namun, ketika kasusnya dipindahkan ke pengadilan pidana, ia mengaku bersalah dengan harapan pengadilan akan bersimpati terhadap tindakannya. Ia mengatakan, ia hanya mengunggah klip-klip audio orang lain, dan tidak membuatnya sendiri atau bahkan mengomentarinya. [ab/uh]