Pengadilan tertinggi PBB akan memutuskan pada hari Kamis (23/1) apakah akan memerintahkan Myanmar untuk menghentikan tindakan yang digambarkan sebagai kampanye genosida terhadap minoritas Muslim Rohingya di negara itu.
Putusan Mahkamah Keadilan Internasional itu keluar sebagai hasil dari kasus yang diajukan salah satu negara Afrika, Gambia, atas nama organisasi negara-negara Muslim yang menuduh Myanmar melakukan genosida dalam penindakan keras terhadap Rohingya.
Dalam dengar keterangan terbuka bulan lalu, beberapa pengacara yang menuduh Myanmar menggunakan peta, citra satelit, dan foto-foto untuk merinci apa yang mereka sebut kampanye pembunuhan, pemerkosaan, dan penghancuran yang setara dengan genosida yang dilakukan oleh militer Myanmar.
Sidang tersebut mendapat sorotan tajam dari seluruh dunia karena mantan ikon prodemokrasi Myanmar Aung San Suu Kyi membela kampanye pasukan militer yang pernah menetapkannya sebagai tahanan rumah selama 15 tahun. Suu Kyi dianugerahi Nobel Perdamaian tahun 1991 karena memperjuangkan demokrasi dan HAM di negara yang ketika itu diperintah junta militer.
Putusan pengadilan Kamis (23/1) itu diumumkan dua hari setelah sebuah komisi independen bentukan pemerintah Myanmar menyimpulkan adanya alasan untuk mempercayai bahwa pasukan keamanan melakukan kejahatan perang dalam operasi untuk melawan pemberontakan Rohingya. Akan tetapi tidak ada bukti yang mendukung tuduhan bahwa genosida itu direncanakan atau dilaksanakan.
Laporan itu menuai kritik dari sejumlah aktivis HAM. Sementara laporan lengkap belum dirilis, Phil Robertson, wakil direktur wilayah Asia Human Rights Watch yang berbasis di New York, mengemukakan temuan panel itu merupakan "apa yang sudah diperkirakan sebagai hasil investigasi yang tidak transparan oleh sekelompok komisioner yang secara politik memiliki kedekatan dengan pemerintah Myanmar.”
Putusan mahkamah tertinggi dunia itu mengikat secara hukum tetapi bergantung pada PBB untuk meningkatkan tekanan politik, jika perlu, bagi penegakkannya.
Pengadilan diperkirakan akan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mengeluarkan putusan akhir dalam kasus Rohingya ini. [mg/uh]