Pengadilan Hong Kong pekan depan akan mengeluarkan keputusan yang diawasi ketat mengenai apakah akan melarang pengumandangan dan peredaran lagu protes "Glory to Hong Kong," setelah pemerintah meminta pengadilan itu untuk melakukannya atas nama keamanan nasional.
Lagu itu ditulis selama protes antipemerintah 2019 dan liriknya menyerukan demokrasi dan kebebasan. Lagu itu sempat dikumandangkan di beberapa acara olahraga internasional di Hong Kong, menggantikan lagu kebangsaan China, “March of the Volunteers.”
Keputusan mengenai nasib lagu itu diperkirakan akan keluar pada Jumat depan.
Para kritikus khawatir larangan itu akan semakin menyusutkan kebebasan berekspresi kota itu, yang semakin tipis di bawah tindakan keras Beijing terhadap gerakan prodemokrasi kota — dan menimbulkan tantangan bagi operasi raksasa-raksasa teknologi.
Hong Kong, bekas jajahan Inggris, kembali ke pemerintahan China pada tahun 1997 dan dijanjikan dapat mempertahankan kebebasan sipil gaya Baratnya selama 50 tahun setelah pengalihannya. Tetapi keterbukaan dan kebebasan yang dulunya merupakan ciri khas kota itu telah terkikis setelah Beijing memberlakukan undang-undang keamanan nasional dan perubahan-perubahan politik lainnya.
Bulan lalu, pemerintah mengusahakan keluarnya perintah pengadilan yang menarget siapa saja yang menggunakan lagu tersebut untuk mengadvokasi pemisahan Hong Kong dari China. Pemerintah juga ingin melarang tindakan-tindakan yang memanfaatkan lagu tersebut untuk menghasut orang lain agar mendukung pemisahan diri dan menghina lagu kebangsaan, termasuk yang dilakukan secara online.
Selama sidang pada Jumat (21/7), Hakim Anthony Chan mendengarkan argumen seputar potensi larangan tersebut, termasuk kegunaan perintah tersebut, sebelum menunda keputusannya hingga minggu depan.
Benjamin Yu, seorang pengacara yang mewakili pemerintah, menyoroti risiko keamanan nasional yang dapat dipicu oleh lagu tersebut dan mengatakan bahwa perintah pengadilan yang mendukung pemerintah akan sangat bermanfaat. [ab/uh]
Forum