Tautan-tautan Akses

Penerapan Hukuman Mati di Indonesia Hambat Pengembalian Aset Koruptor


Para aktivis organisasi Amnesty International memprotes pemberlakuan hukuman mati (foto: dok). Pemerintah Indonesia mengalami kesulitan menarik kembali asset para koruptor karena penerapan hukuman mati.
Para aktivis organisasi Amnesty International memprotes pemberlakuan hukuman mati (foto: dok). Pemerintah Indonesia mengalami kesulitan menarik kembali asset para koruptor karena penerapan hukuman mati.

Jaksa Agung Basri Arief menyatakan upaya pengembalian aset para koruptor yang lari keluar negeri terhambat karena adanya pemberlakuan hukuman mati di Indonesia.

Pemberlakuan hukuman mati merupakan salah satu faktor penghambat upaya pengembalian aset koruptor diluar negeri. Beberapa negara seperti Swiss contohnya menolak membantu pengembalian aset koruptor Indonesia yang ada disana jika para terpidana korupsi diancam dengan hukuman mati.

Menurut Jaksa Agung Basri Arief, Hingga saat ini pemerintah terus melakukan pendekatan dan pembahasan dengan sejumlah negara terkait pengembalian aset para koruptor yang disimpan di luar negeri.

Basrie Arief menjelaskan, "Itu masih ada pembahasan lebih lanjut dengan negara yang terkait dengan negara yang ada asetnya di sana. Sementara ini, (pembicaraan) kita dengan Hongkong masih terus berjalan. Kita upayakan juga dengan Swiss, juga kita bahas semua itu. Mekanisme yang digunakan sementara ini terkait dengan Mutual Legal Asisstance."

Peneliti dari Indonesia Corruption Watch, Adnan Topan Husodo menyatakan pemberlakuan hukuman mati di Indonesia bukan merupakan satu-satunya hal yang menjadi kendala dalam upaya pengembalian aset koruptor diluar negeri.

Topan menjelaskan penegakan hukum yang tidak tegas dan juga banyaknya pengadilan in absentia yang dilakukan sehubungan dengan kasus korupsi juga merupakan aspek yang menghambat pengembalian aset para koruptor yang ada di luar negeri.

"Misalnya kita bicara soal BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) lah tapi mana ada kasus-kasus BLBI yang ditangani oleh penegak hukum kita. Semuanya melakukan pendekatan menyelesaikan BLBI itu dengan regulasi politik seperti zaman Megawati mengeluarkan kebijakan release and discharge. Nah kemudian yang lain ada Kejaksaan menangani beberapa kasus, lagi-lagi yang terjadi pengadilan in absentia. Pengadilan in absentia ini banyak yang tidak diakui hasilnya oleh negara-negara di luar. Nah itu juga salah satu problem," ujar Adnan Topan Husodo.

Kantor pusat KPK di Jakarta. Pihak berwenang terkait urusan korupsi mengalami hambatan mengembalikan asset yang dibawa lari koruptor ke luar negeri.
Kantor pusat KPK di Jakarta. Pihak berwenang terkait urusan korupsi mengalami hambatan mengembalikan asset yang dibawa lari koruptor ke luar negeri.

Untuk itu menurut Adnan, pemerintah harus segera membuat peraturan baru yang mendukung upaya pengembalian aset koruptor yang ada di luar negeri. Karena selama regulasi yang ada banyak yang tidak mendukung. Selain itu, kata Adnan, profesionalisme penegak hukum juga harus ditingkatkan.

Sementara itu, Ketua Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar meminta pemerintah dan DPR menghilangkan pasal hukuman mati dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi yang akan direvisi.

Penerapan hukuman mati, menurut Haris Azhar, selain melanggar hak asasi manusia juga tidak akan menimbulkan efek jera.

Haris Azhar mengatakan, "Kita juga melihat bahwa korupsi itu merajalela di Indonesia ini, paling tidak karena dua hal karena politisasi penanganannya, dan juga karena birokrasi atau service (pelayanan) yang buruk. Birokrasi bisa disuap, artinya persoalannya bukan efek jera tapi persoalannya soal ketegasan dan birokrasi yang seharusnya tidak korup."

Sebelumnya, Staf Ahli Presiden bidang Hukum, Denny Indrayana mengatakan diperlukan hukuman yang sangat berat bagi para koruptor. Menurutnya terus meningkatnya tindak pidana korupsi saat ini di Indonesia dikarenakan hukuman yang diberikan kepada koruptor sangat ringan.

XS
SM
MD
LG