Wahda Fitri rela menggunakan akhir pekannya untuk mengikuti Konsolidasi Nasional Pusat Komando Saksi pasangan calon presiden (capres)/calon wakil presiden (cawapres) Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar yang digelar di sebuah hotel di Kemayoran, Minggu (4/2).
“Kami dipersiapkan untuk jadi saksi, baik saksi di dalam TPS (tempat pemungutan suara) maupun di luar. Kami meramaikan TPS supaya bisa menjaga suara juga,” ujar Fitri, panggilan akrab perempuan berusia 57 tahun itu, kepada VOA, di tengah riuh acara yang dihadiri ratusan relawan dan saksi.
Acara konsolidasi saksi itu menjadi kulminasi serangkaian pelatihan saksi pemilu yang dijalani oleh Fitri.
“Yang paling susah itu penghitungan suara akhir. Kita kan harus detil ya. Jadi kita harus memperhatikan sekali yang sisa surat suara 20 persen diapakan,” ujar Fitri.
Di Kota Bandung, Mulyanto juga bersiap menjadi saksi untuk seorang calon anggota legislatif (caleg) yang mewakili daerah pemilihan (dapil) Jawa Barat dari PDI Perjuangan (PDIP).
“Kita harus jeli lihat surat suara. Misalnya, surat suara dicoblos nomor satu, tapi diumumkan yang dicoblos nomor tiga. Banyak kecurangan, kita sebagai saksi harus siap,” ujar tenaga keamanan berusia 53 tahun itu. Mulyanto mengaku sudah dua kali ikut pelatihan saksi.
Pada 14 Februari, Fitri dan Mulyanto serta jutaan saksi pemilu lah yang akan menentukan nasib baik 9.917 calon legislatif (caleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 668 calon Dewan Pewakilan Daerah (DPD) serta tiga pasang calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Mereka adalah garda terdepan yang menjaga suara para peserta pemilu di 823.220 tempat pemungutan suara (TPS) di dalam dan luar negeri.
Meski peran saksi pemilu sangat vital dalam mencegah kecurangan, sejumlah aktivis dan praktisi pemilu mengatakan kualitas rata-rata saksi masih tidak maksimal akibat minimnya pelatihan dan sumber daya manusia, serta persaingan perekrutan saksi yang tidak sehat. Kondisi itu tentunya akan berdampak pada pelaksanaan pemilu yang jujur dan adil.
Apa Itu Saksi Pemilu?
Menurut Buku Saku Saksi Pemilu 2019, saksi adalah orang yang mendapat surat mandat tertulis dari tim kampanye atau pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau koalisi partai untuk pilpres, dan pengurus partai politik untuk pemilu DPR serta DPD.
Tugas para saksi adalah menjamin agar pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara berlangsung jujur dan adil, sesuai peraturan perundang-undangan. Setiap partai diizinkan menerbitkan surat mandat untuk sebanyak-banyaknya dua saksi, tetapi hanya satu yang diperbolehkan masuk ke TPS.
Arif Bawono, Komisaris Utama konsultan politik PT Citra Buana Sibernatika (CBS) yang kerap memberikan pelatihan saksi pemilu, tugas saksi pemilu sebenarnya tidak terbatas pada saat hari pemungutan suara saja.
Saksi pemilu seharusnya sudah terlibat sejak tahapan data pemilih untuk memastikan jumlah pemilih yang akan menggunakan hak pilih dan tahapan persiapan logistik pemilu agar jumlah logistik sesuai dengan jumlah pemilih.
“Kan percuma ada pemilih tapi logistiknya tidak ada. Percuma juga logistik ada, tapi tidak dihitung sesuai dengan jumlah pemilih yang ada. Pemahaman partai politik mengenai saksi itu hanya saat hari H saja. Padahal saksi adalah kunci kemenangan,” papar Arif.
Dari saksi lah, ujar Arif, para peserta pemilu akan tahu berapa perkiraan jumlah pemilih yang akan memilih calon. Selain itu, saksi juga bisa mengamankan dokumen peserta pemilu yang diperlukan saat terjadi sengketa.
“Biasanya peserta pemilu tidak aware dengan dokumen. Baru pas ada masalah, mereka ribut. Kalau saksi tidak ada di TPS, bagaimana bisa dapat data,” imbuhnya.
Minim Pelatihan
Menurut Arif, meski peran saksi sangat krusial dalam memastikan dan mengamankan suara peserta pemilu, sekitar 80 persen partai-partai peserta pemilu tidak serius memberdayakan dan melatih para saksi.
Lebih jauh, dia menjelaskan saksi pemilu yang mumpuni harus memiliki pengetahuan dasar kepemiluan dan tata cara pemungutan serta penghitungan suara. Sebabnya, penghitungan suara pemilu di Indonesia masih manual serta cukup kompleks karena perhitungan berjenjang dari TPS, kecamatan, hingga ke rekapitulasi nasional.
Senada, Khoirunnisa Nur Agustyati, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengatakan saksi harus punya pengetahuan mengenai dokumen-dokumen apa saja yang harus diterima saat hari pencoblosan dan ke mana harus mengajukan keberatan saat terjadi salah penghitungan.
Proses bimbingan teknis (bimtek) para saksi ini lah yang kerap tidak maksimal, tutur Khoirunnisa, yang buntutnya saksi juga tidak menjalankan tugasnya dengan baik.
“Pada (pemilu) 2019, proses perhitungannya kan lama. Kadang saksi karena sudah capek, ya sudah ditinggal. Jadi saksi kadang tidak pegang dokumen yang sudah ditandatangani. Nah, ketika perhitungan di [level] atas dan direkap hasilnya tidak sama. Saksi tidak punya bukti,” kata Khoirunissa kepada VOA usai diskusi pemilu di Jakarta pada Rabu (7/2).
Tanpa pengetahuan dasar tersebut, para saksi kesulitan mendeteksi kecurangan, baik yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu, maupun pihak-pihak lain termasuk oleh masyarakat.
Data pelanggaran pidana pemilu dari Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sedikit banyak menggambarkan pentingnya saksi pemilu yang andal. Pada Pemilu 2019, menurut data KPU, terdapat 437 vonis pidana pemilu. Dari jumlah tersebut, sebanyak 122 kasus atau 26,7 persen dilakukan oleh pemilih dan 105 kasus atau 24 persen dilakukan oleh penyelenggara pemilu.
Sedangkan untuk jenis pelanggaran, yang paling banyak terjadi adalah politik uang sebanyak 69 kasus, memberikan surat suara lebih dari satu kali sebanyak 65 kasus dan penggelembungan suara sebanyak 43 kasus.
“Saksi hanya [dianggap] pelengkap pemilu. Datang pada hari-H, dikasih uang, disuruh duduk di TPS tanpa tahu harus ngapain. Hasil [perhitungan suara] datang ‘sudah diperbaiki’ oleh kesepakatan para penyelenggara yang ‘nakal-nakal’ atau dia [saksi] sudah terima uang dan gak mengerti alur perhitungan suara,” ujar Arif yang pernah belasan tahu bertugas sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Peserta Pilpres Genjot Pelatihan Saksi
Tamsil Linrung, Kepala Deputi Saksi dan Pengorganisasian, untuk paslon Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, mengatakan kebutuhan saksi utama sebanyak 823 ribu sesuai jumlah TPS sudah terpenuhi. Di luar saksi utama, masih akan ditambah relawan saksi dari berbagai ormas yang jumlah totalnya bisa mencapai lebih dari satu juta orang.
Politisi senior PKS itu menambahkan kader-kader PKS sudah berpengalaman dalam mengelola dan melatih saksi-saksi pemilu, terutama untuk mewaspadai kecurangan di TPS.
“Bimtek-bimtek itu terus menerus kita lakukan. Ini sering kita lakukan di mana-mana. Kita beri pemahaman kepada masyarakat yang menjadi saksi bahwa anda sebagai saksi menentukan perjalanan bangsa ke depan,” ujar Tamsil kepada VOA, Minggu (4/2).
Demikian halnya dengan tim paslon nomor tiga, Ganjar Pranowo – Mahfud MD.
Candra Irawan, Sekretaris Badan Saksi Pemilu Nasional (BSPN) PDI Perjuangan, mengungkapkan pihaknya akan mengerahkan 1,7 juta saksi, termasuk saksi utama di 823 ribu lebih TPS, baik untuk pemilihan legislatif (pileg) dan pilpres. PDIP menjadi pemasok utama saksi untuk paslon Ganjar Pranowo dan Mahfud MD.
Candra mengatakan kepada VOA bahwa pelatihan saksi sudah menjadi standar perekrutan PDIP selama bertahun-tahun.
“Pelatihannya itu yang simple-simpel aja. Apa yang akan mereka lakukan pada tahap perhitungan dan apa yang harus mereka antisipasi pada saat terjadi potensi-potensi ada kecurangan,” ujar Candra melalui sambungan telepon beberapa waktu lalu.
Dana Terbatas
Khoirunissa menilai ketersediaan dana menjadi kendala utama bagi partai-partai politik untuk merekrut dan melatih saksi yang andal karena butuh dana yang tidak sedikit. Pasalnya, biaya saksi dibebankan kepada peserta pemilu.
“Saksi itu kan diharapkan bukan hanya di TPS, tapi juga ada saat perhitungan. Perhitungan dimulai dari TPS, dibawa ke kecamatan, kabupaten/kota, provinsi sampai nasional. Menyediakan saksi di setiap level ini kan costly (mahal),” papar Khoirunnisa tanpa memerinci jumlah dana yang dibutuhkan.
Hal ini dialami oleh Mulyanto. Pemilu kali ini adalah yang kedua kalinya bagi Mulyanto untuk menjadi saksi caleg PDIP. Sebelumnya, dia pernah menjadi caleg partai lainnya.
“Ya, saya akhirnya pilih jadi saksi PDIP karena partai yang sebelumnya gak amanah,” tutur Mulyanto tanpa mengungkap nama partai sebelumnya.
Dengan kondisi seperti itu, tak heran jika hanya segelintir partai-partai besar dengan tradisi akar rumput yang kuat, seperti PDIP, Golkar atau Partai Keadilan Sejahtera yang mampu memobilisasi saksi dalam jumlah besar. Sedangkan partai-partai kecil harus mengandalkan jaringan seadanya.
Ihamsyah, Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Buruh, mengakui tradisi menawarkan imbalan uang bagi para saksi yang sudah mengakar menjadi salah satu kendala Partai Buruh dalam merekrut saksi. Apalagi, Partai Buruh sendiri berpedoman untuk tidak menggunakan pendekatan uang untuk memenangkan kontestasi pemilu.
“Bagi masyarakat pada umumnya, menjadi saksi itu adalah sarana untuk mendapatkan uang, bukan atas dasar keyakinan untuk mengawal suara partainya dalam rangka partisipasi politik. Mendapat uang 200 ribu atau 300 ribu itu sangat berharga bagi mereka, bisa untuk makan satu keluarga selama tiga hari,” kata Ilhamsyah kepada VOA melalui telepon, Senin (12/2).
Dia mengungkap para kader Partai Buruh kerap kesulitan merekrut kerabat sendiri untuk menjadi saksi karena mengaku sudah menerima bayaran dari partai lain. Sedangkan Partai Buruh, yang tahun ini perdana mengikuti pemilu, memang tidak menganggarkan dana untuk saksi seperti partai lainnya.
Dengan kondisi ini, Partai Buruh menargetkan bisa menempatkan saksi pada sekitar 60 persen dari jumlah seluruh TPS.
“Partai buruh sebagai alternatif yang merupakan antitesa partai yang menggunakan pendekatan uang dalam pemenangan, tidak mungkin mengikuti cara seperti itu,” kata Ilhamsyah.
Namun, imbuhnya, Partai Buruh terus mengupayakan pelatihan saksi bagi kader-kadernya, termasuk membuat aplikasi yang bisa membantu saksi memantau hasil rekapitulasi.
Melatih Saksi Setara KPPS
Khoirunnisa berpendapat bahwa saksi pemilu bisa saja tidak diperlukan jika KPU punya alat bantu teknologi untuk perhitungan suara yang bisa dibuka untuk umum.
KPU sendiri pada tahun ini mengembangkan aplikasi SIREKAP untuk membantu mempercepat rekapitulasi perhitungan suara. Namun, Khoirunnisa menilai persiapannya belum maksimal.
“Kalau itu (SIREKAP) bisa dan dibuka ke publik, ya tidak perlu saksi,” katanya.
Arif Bawono dari CBS menilai pelatihan saksi tetap diperlukan, setidaknya agar saksi punya kemampuan setara dengan anggota Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS).
“Mempertahankan stigma pemilu langsung umum bebas rahasia jujur dan adil kuncinya di saksi. Jadi, pendidikan saksi penting. Mereka jadi mata-telinga para peserta pemilu. Kalau mereka sendiri yang berbuat tidak baik, maka penyelnggara pemilu tidak baik,” tukas Arif. [ft/ah/rs/dw]
Artikel ini sudah dikoreksi untuk memperbaiki sumber data kasus pidana pemilu yang sebelumnya tertulis 'Komisi Pemilihan Umum (KPU)' menjadi Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).
Forum