Sudah lebih dari 20 tahun, Suyanto menjalani hobi memancing di setiap akhir pekan. Seperti Sabtu (24/8) lalu, warga Bantul, itu ditemui VOA sedang menunggu keberuntungan di muara sungai Opak tak jauh dari Pantai Depok, Yogyakarta. Sudah setengah hari, baru enam ekor ikan belanak berukuran kecil yang didapat. Suyanto mengaku, saat ini memancing ikan jauh lebih susah dibanding dulu.
“Dulu itu mencari ikan mudah sekali. Setengah hari sudah dapat 3 sampai 4 kilo. Sekarang kalau mau dapat segitu harus mancing seharian penuh, itu saja belum pasti,” ujarnya dalam bahasa Jawa.
Muara sungai Opak bukan satu-satunya tempat memancing bagi Eko. Sejak tahun 1990-an, dia sudah menjelajah banyak muara sungai di pantai selatan Yogyakarta. Sungai-sungai ini, tidak hanya berhulu di Yogyakarta, tetapi sebagian juga merupakan sungai yang mengalir dari Jawa Tengah. Semua sama, kata Suyanto, bagi pemancing seperti dia, tak banyak lagi ikan bisa diharapkan.
Biota Sungai Berkurang
Sungai-sungai di Yogyakarta dan Jawa Tengah bagian selatan, yang sebagian menjadi tempat Suyanto rutin memancing, berada dalam naungan Balai Besar Wilayah Serayu-Opak (BBWSO). Lembaga ini berada di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Lembaga ini mengakui, apa yang dirasakan Suyanto memang benar adanya. Sungai-sungai di Yogyakarta dan Jawa Tengah, begitupun sebagian besar sungai di tanah air, telah berubah karena pencemaran. Sahril, pejabat di BBWSO mengatakan, sungai-sungai yang bermuara di kedua provinsi ini statusnya berada dalam pencemaran sedang.
Senada dengan Suyanto, Sahril menguraikan, salah satu yang bisa dirasakan tandanya adalah menghilangnya sejumlah biota sungai.
“Memang masih ada biota sungai yang bisa hidup. Dulu waktu kita masih kecil, udang masih bisa kita lihat. Sekarang tidak bisa lagi kita lihat. Justru ada jenis ikan seperti sapu-sapu yang itu bukan sebenarnya habitatnya bukan di sungai kita. Karena itu, pencemaran di sungai-sungai wilayah ini, kita kategorikan sedang,” kata Sahril.
Jika pencemaran terus terjadi, bukan tidak mungkin kategori pencemarannya akan naik ke level tinggi. Salah satu yang paling mudah dilihat akibat kenaikan status ini, adalah ketika airnya menyebabkan gatal-gatal bagi manusia. Di Indonesia, ujar Sahril, terdapat 458 Daerah Aliran Sungai (DAS). Dari jumlah itu, sebanyak 108 DAS sudah dikategorkan kritis.
Khusus di sungai-sungai yang dikelola BBWSO, pencemaran terjadi akibat beberapa sebab. Di Jawa Tengah misalnya, limbah pabrik cukup mendominasi, terutama pabrik pengolahan kulit dan tekstil. Sejumlah kecil industri di Yogyakarta juga memegang peran yang sama.
“Ada proses, di mana pemilik pabrik tidak mengolah air limbahnya terlebih dahulu, tetapi langsung masuk ke sungai kita. Ini menyumbang pencemaran yang tinggi. Nah, pencemaran itu dimulai dari hulu, dan yang menderita adalah daerah yang ada di hilir,” ujar Sahril.
Sahril menyampaikan itu di sela pertemuan Jambore Sungai IV yang diselenggarakan Asosiasi Komunitas Sungai Yogyakarta (AKSY). Jambore ini dihadiri ratusan pegiat komunitas dan pemerhati sungai selama dua hari, 24-25 Agustus 2019 di Pantai Depok, Yogyakarta. Peserta datang dari berbagai wilayah di Indonesia, terutama organisasi masyarakat yang peduli terhadap sungai-sungai di tanah air.
Pencemaran yang Terbaikan
Halik Sandera, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) DIY yang hadir dalam jambore ini kepada VOA menyebut, secara umum sungai-sungai di Jawa memiliki masalah yang sama.
“Problem paling umum adalah karena sungai masih menjadi titik buangan. Pertama, dari limbah rumah tangga maupun industri, sehingga kondisinya rata-rata tercemar. Selain berdampak terhadap air bersih warga di sekitar sungai, ekosistem yang ada di sungai pun tergangggu, bahkan bisa bermigrasi karena tidak bisa beradaptasi dengan sungai yang tercemar,” ujar Halik.
Masalah kedua terkait titik buangan ini, kata Halik, adalah sungai menjadi tempat di mana warga membuang sampah. Selain itu, beban ketiga, tambahnya adalah sungai masih menjadi hilir buangan air saat musim hujan. Salah satu dampak paling besar dari masalah ketiga ini adalah banjir yang datang ketika musim hujan.
Karena itu, Halik menilai penyelesaian masalah sungai harus terintegrasi. Tidak hanya di alur sungainya, semua harus diurai sejak kawasan pemukiman, bahkan di lokasi yang cukup jauh. Dalam pengamatan yang selama ini dilakukan banyak pegiat sungai, aktivitas membuang sampah misalnya, tidak dilakukan hanya oleh warga yang tinggal di dekat sungai. Banyak kasus dimana warga yang berangkat kerja, membawa serta sampah mereka, lalu berhenti di atas jembatan dan membuang sampahnya ke sungai.
Karena itu, penyadaran harus terus dilakukan diiringi dengan penegakan hukum. Kasus-kasus hukum bagi pembuang sampah di sungai, akan menimbulkan efek jera. Tidak hanya bagi warga yang tinggal di tepi sungai, tetapi untuk siapapun yang masih membuang sampah di sungai.
Halik mengingatkan, air sungai di banyak lokasi merupakan sumber air baku, baik bagi konsumsi rumah tangga maupun sektor pertanian. Jika sungai tercemar, tentu saja air minum yang dikonsumsi masyarakat tidak sepenuhnya sehat. Di sisi lain, karena menjadi sumber air baku pertanian, kondisi ini akan mempengaruhi kualitas pangan.
“Secara kualitas, harapannya ke depan bisa membaik, sehingga kualitas manusianya juga akan membaik. Saat pangannya bagus, airnya bagus, manusianya juga akan baik. Kadang, ketika kita minum, kita tidak sadar bahwa sebenarnya sumbernya sebagian diambil dari sungai. Kalau air sungai tercemar, kita juga menikmati air yang kualitasnya tidak baik,” tambah Halik. (ns/em)