Ambisi Indonesia untuk menjadi tuan rumah pada Olimpiade 2036 diyakini akan dihantui oleh rentetan dampak buruk. Berkaca pada pengalaman dari berbagai kota yang menjadi tuan rumah Olimpiade, ajang olahraga multi-event itu kerap menimbulkan masalah baru, mulai dari anggaran yang membengkak dan menyebabkan krisis keuangan hingga infrastruktur yang terbengkalai.
Pemerhati olahraga nasional, Ainur Rohman, mencontohkan pada proses bidding Olimpiade 2024 di Paris, ada lima kota yang mengajukan diri sebagai tuan rumah. Kota-kota tersebut adalah Roma, Budapest, Hamburg, Paris, dan Los Angeles. Namun, sebelum penentuan tuan rumah Olimpiade terjadi, tiga kota yaitu Roma, Budapest, dan Hamburg mengundurkan diri sebagai calon tuan rumah Olimpiade 2024. Saat itu Roma mengundurkan diri karena alasan keuangan. Sedangkan, Budapest dan Hamburg, mereka beralasan para warganya tak sepakat untuk menggelar Olimpiade di kota mereka.
"Kenapa itu terjadi? Karena warganya tahu bahwa Olimpiade itu tidak menguntungkan mereka secara langsung. Jadi daripada uang anggaran digunakan untuk pesta olahraga. Lebih baik dipakai untuk yang lain misalnya kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur lainnya berhubungan dengan kepentingan publik," kata Ainur yang juga merupakan jurnalis olahraga kepada VOA, Jumat (18/11).
Berkaca dari pengalaman beberapa kota tersebut, maka Indonesia pun dinilai belum perlu untuk menjadi tuan rumah Olimpiade 2036.
"Kita masih belum siap dan memang menurut saya menjadi tuan rumah Olimpiade tidak memiliki dampak yang sehebat itu. Jadi dampak Olimpiade akan mendatangkan keuntungan yang besar lewat sektor pariwisata dan coverage media menjadi besar itu hal yang mitos. Itu tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan oleh penyelenggara," ucapnya.
Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) di sela-sela gelaran KTT G20 di Bali, menyampaikan bahwa Indonesia siap menjadi tuan rumah penyelenggaraan pesta olahraga terakbar di dunia yaitu Olimpiade pada tahun 2036. Presiden menyiapkan Ibu Kota Nusantara (IKN), Kalimantan Timur, sebagai tempatnya.
Pembengkakan Dana
Menurut studi Universitas Oxford tahun 2016, setiap negara tuan rumah Olimpiade sering kali harus merogoh kocek lebih dalam karena perhelatan tersebut menghabiskan dana yang jauh lebih besar daripada alokasi semula. Olimpiade 2012 di London, Britania Raya, misalnya, awalnya hanya menganggarkan biaya $5 miliar, tetapi akhirnya membengkak hingga $18 miliar. Lalu, Olimpiade musim dingin 2014 di Sochi, Rusia, menggerus kantong negara tersebut hingga $51 miliar dibandingkan perhitungan awal sebesar $10,3 miliar. Hal serupa juga terjadi di gelaran Olimpiade musim panas 2016 di Rio de Janeiro, Brazil, di mana anggaran jadi meroket ke $20 miliar dari alokasi $14 miliar.
"Jadi selalu overbudget karena sebuah kota yang menjadi tuan rumah Olimpiade itu akan selalu membangun minimal fasilitas untuk 30 cabang olahraga. Meskipun tidak membangun baru, tapi sebuah kota penyelenggara itu selalu memperbaiki fasilitas dan mempersiapkan tempat pembukaan serta penutupan seremoni, itu sangat mahal," ungkap Ainur.
Selain masalah anggaran, dampak buruk yang mungkin terjadi adalah terbengkalainya infrastruktur yang dibangun pasca ajang olahraga tersebut usai. Hal itu terjadi di berbagai kota yang pernah menyelenggarakan Olimpiade seperti Beijing, Athena, dan Rio de Janeiro.
"Jadi kalau misalnya sebuah kota tidak memiliki kultur olahraga yang kuat. Itu fasilitas akan terbengkalai. Ini menjadi kekhawatiran saya jika Indonesia mencalonkan diri sebagai tuan rumah Olimpiade 2036. Nah, kultur olahraga di IKN itu seperti apa dengan fasilitas sebanyak itu dan fasilitas yang mungkin tidak diperlukan lagi ketika olimpiade selesai. Apa yang terjadi? Ya akan abandon (ditinggalkan -red)," jelas Ainur.
"Pelajaran kita seperti Pekan Olahraga Nasional (PON) itu banyak fasilitas-fasilitas yang mangkrak dan menjadi candi di Indonesia karena tidak berguna lagi setelah multievent itu selesai," Ainur menambahkan.
Dengan rentetan dampak buruk tersebut membuat pencalonan suatu kota untuk menjadi tuan rumah Olimpiade untuk edisi selanjutnya dinilai kurang diminati lantaran harus mengeluarkan biaya yang sangat besar. Menurut Ainur, pemerintah harus memikirkan ulang untuk menjadikan IKN sebagai tuan rumah Olimpiade musim panas 2036. Apalagi dalam proses bidding pemerintah harus merogoh kocek sedikitnya $200 juta yang digunakan untuk pencalonan.
"Dari awal ketika sudah terjun berarti sudah siap untuk menghabiskan uang. Bagi kita Indonesia uang segitu, ya baiknya untuk yang lain. Bahkan (dalam) konteks olahraga, lebih baik untuk pembinaan atlet, meningkatkan kesejahteraan atlet, perbaikan fasilitas, peningkatan nilai gizi, dan pengiriman atlet untuk training camp di luar negeri. Itu jauh lebih bermanfaat daripada menjadi tuan rumah Olimpiade," ujarnya.
Ainur menilai menjadi tuan rumah Olimpiade malah akan mendatangkan hal buruk dibandingkan dampak baiknya. Pasalnya, dalam kurun 50 tahun terakhir tak ada kota yang mengalami keuntungan usai menjadi tuan rumah kecuali Los Angeles pada Olimpiade tahun 1984.
"Karena kota (Los Angeles) itu tidak perlu membangun stadion karena sudah tersedia dan lansekap sudah sangat cocok untuk menjadi tuan rumah. Pasalnya kotanya itu sudah sangat dekat dengan olahraga. Jadi saling menghidupi sehingga tidak ada yang mangkrak dan tidak ada fasilitas yang sia-sia. Semuanya saling menghidupi di kotanya. Itu berbeda dengan IKN yang baru akan dibangun," katanya.
Ainur pun berharap Indonesia tak terpilih sebagai tuan rumah Olimpiade 2036 lantaran dampak buruk yang jauh lebih besar akan menghantui Tanah Air apabila menjadi penyelenggara olahraga multievent tersebut.
"Bukan saya tidak cinta Indonesia, justru karena kecintaan kepada Tanah Air saya merasa bahwa uang segitu banyak. Lalu, effort yang seharusnya tidak digunakan untuk sebuah sia-sia kita lakukan, daripada melakukan itu lebih baik membuat hal lain soal peningkatan prestasi olahraga. Itu lebih jauh membanggakan daripada sekadar menjadi tuan rumah Olimpiade," pungkasnya.
Tingkatkan Reputasi
Sementara itu, anggota DPR RI dari Komisi X, Dede Yusuf, mengatakan pencalonan sebagai tuan rumah Olimpiade malah akan meningkatkan reputasi Indonesia di mata dunia. Untuk menggelar Olimpiade, Indonesia sendiri telah memiliki pengalaman untuk menghelat pesta olahraga multi-event seperti Asian Games 2018 dan Piala Dunia U-20 pada tahun 2023 mendatang.
"Ini momentum yang sangat bagus sekali untuk memberi keyakinan kepada dunia untuk bisa menjadi tuan rumah sebuah perhelatan yang bertaraf internasional," katanya kepada VOA.
Untuk menghindari infrastruktur yang mangkrak usai pesta olahraga multievent. Dede menilai harus ada konsep sustainable dalam membangun sebuah infrastruktur olahraga, misalnya yang bisa dimanfaatkan oleh masyakarat umum.
"Sehingga tidak menjadi barang-barang yang hanya menyisakan biaya perawatan mahal. Ketika pemerintah mengeluarkan anggaran untuk sebuah multi-event, maka kemudian pemanfaatan itu harus diberikan kepada masyarakat," ucapnya kepada VOA.
Dede pun tak setuju apabila Indonesia yang menyatakan siap untuk menjadi tuan rumah Olimpiade 2036 terkesan memaksakan diri. Pasalnya, kesempatan menjadi tuan rumah Olimpiade akan menempatkan posisi Indonesia di mata internasional.
"Karena itu juga dilakukan oleh negara lain. Mereka juga berlomba-lomba untuk bidding. Poinnya apa? Menempatkan negara kita pada posisi-posisi internasional. Mata dunia akan tertuju pada negara tersebut. Dalam proses bidding kita akan melakukan lobi-lobi dan mempresentasikan sebenarnya apa yang dilakukan dan momentum mempromosikan Indonesia," ucapnya.
Bukan hanya itu, pemerintah diminta untuk mempersiapkan segala hal untuk menjadi tuan rumah Olimpiade 2036 mulai dari infrastruktur dan perbaikan sumber daya manusia menuju pesta olahraga multievent bertaraf terbesar di dunia tersebut.
"Untuk menuju ke sana kita juga harus mendorong agar pemerintah juga mempersiapkan masyarakatnya misalnya sport lifestyle. Dengan demikian, warga kita menjadi masyarakat yang berolahraga dan lebih sehat. Sumber daya manusia untuk persiapan menuju Olimpiade juga sangat penting," tandas Dede. [aa/ah]
Forum