Penangkapan seorang jurnalis Nigeria pada pekan lalu telah memicu kritik atas memburuknya kebebasan pers di negara Afrika Barat tersebut.
Daniel Ojukwu dari Yayasan Jurnalisme Investigasi hilang pada Rabu (1/5) lalu di Lagos, yang merupakan pusat perekonomian di negara tersebut. Keluarga dan pimpinannya mengetahui pada Jumat (3/5) bahwa dia ditangkap dan ditahan di kantor polisi. Ia diduga melanggar Undang-undang Kejahatan Siber, yang sering dikritik sebagai alat sensor.
Tempat penahanan Ojukwu kemudian dipindahkan ke ibu kota Nigeria, Abuja. Menurut perusahaan yang mempekerjakannya, yayasan tersebut, ia ditangkap karena laporannya tentang dugaan kesalahan pengelolaan uang lebih dari 147 juta naira ($104.600) yang melibatkan seorang pejabat senior pemerintah.
Nigeria berada di peringkat 112 dari 180 negara dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia terbaru yang dirilis oleh organisasi Reporters Without Borders. Negara itu terkenal akan lingkungan yang sulit bagi jurnalis yang sering menghadapi penculikan, penangkapan dan penuntutan, biasanya setelah melaporkan korupsi kronis dan tata kelola buruk yang melanda negara kaya minyak tersebut.
Setidaknya 25 jurnalis telah ditangkap terkait pelanggaran terhadap Undang-undang Kejahatn Siber sejak aturan tersebut dibuat pada 2015, menurut Komite Perlindungan Jurnalis. Penangkapan tersebut mencakup delapan jurnalis yang ditahan di bawah pemerintahan Presiden Bola Tinubu yang berkuasa sejak Mei tahun lalu dan menyebut pemerintahannya mendorong terciptanya kebebasan pers, sebuah klaim yang kembali digaungkan dalam peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia.
Mohammed Idris Malagi, menteri penerangan Nigeria, mengatakan kepada kantor berita Associated Press bahwa ia sedang mengupayakan penyelesaian kasus itu dan menjadikannya sebagai "prioritas." Kelompok masyarakat sipil lokal dan internasional mengutuk penahanan tersebut. [ka/jm]
Forum