Bojonegoro merupakan salah satu Kabupaten di Jawa Timur, yang memiliki kekayaan di bidang minyak dan gas bumi (migas). Sumur tua di Desa Wonorejo Kecamatan Kedewan, merupakan salah satu kawasan penambangan migas yang sempat dieksploitasi oleh Belanda pada masa penjajahan. Berkurangnya produksi migas dan turunnya harga minyak dunia tidak menyurutkan niat masyarakat untuk mengais rezeki dari sumur tua Wonocolo.
Suara deru mesin memecah keheningan perbukitan di Desa Wonocolo, Kecamatan Kedewan, Kabupaten Bojonegoro. Mesin-mesin itu menarik sling atau kawat baja yang mengerek pipa pembawa minyak dari kedalaman sekitar 300 meter. Itulah aktivitas para penambang tradisional di sumur minyak Wonocolo, oleh ratusan warga yang sebagian besar berasal dari desa-desa sekitar sumur penambangan.
Penambangan minyak Wonocolo yang memiliki sekitar 700 sumur, mulai ditambang oleh warga pada tahun 2008, yang sebelumnya dikuasai bekas Kepala Desa setempat setelah ditinggalkan oleh Belanda. Karena telah lama dieksploitasi oleh Belanda dan oknum aparat desa, sumur minyak itu sekarang mengalami penurunan produksi hasil tambang yang biasa disebut “Emas Hitam”.
Dituturkan oleh Wahyu, salah seorang pekerja yang sedang menampung minyak mentah atau biasa disebut Lantung, pendapatan warga penambang minyak tidak lagi sebanyak dulu. Semakin menipisnya volume minyak yang dihasilkan yakni per hari rata-rata 200-400 barel minyak mentah, menjadi salah satu penyebab turunnya pendapatan warga.
“Ya disyukuri pak, kadang-kadang bisa naik turun, kadang-kadang bisa melebihi target, kadang-kadang ya kurang, namanya itu kan dari alam ya, gak pasti. Sekarang biasa-biasa saja, paling minimal 10-12 bul satu minggu. satu malam, satu hari itu kadang-kadang dua (drum), kadang-kadang dua kurang. Kalau satu minggu tidak pasti, kadang-kadang ya lebih satu juta-lah, 800 ribu tidak pasti, kan (dibagi) orang banyak,” kata Wahyu, pekerja tambang minyak di Wonocolo.
Sejak diijinkan mengelola sumur minyak Wonocolo oleh Pertamina selaku pemilik wilayah kerja, warga yang menambang diwajibkan menyetor hasil mereka ke Pertamina. Solar dan minyak tanah merupakan produk yang dihasilkan warga dari pengelolaan sumur Wonocolo.
Menurut Camat Kedewan, Mochamad Tarom, minimnya pendapatan juga dipengaruhi oleh tingginya biaya produksi dan peralatan penambangan, serta pembagian hasil bagi para pekerja.
“Jadi hasil minyaknya ini dikirim ke Peramina. Pertamina memang tidak mengeluarkan anggaran untuk pengelolaan sumur, tapi pengelolaan sumur itu dikelola oleh masyarakat sendiri. Nah satu kelompok itu ada yang 10 orang, ada yang 30 orang, terus hasilnya dari per-minggu itu dibagi anggota kelompoknya,” kata Mochamad Tarom.
Kondisi ini, kata Tarom, membuat perekonomian masyarakat penambang semakin sulit. Pemerintah bersama Pertamina pada tahun ini mulai membuat alternatif baru, untuk menciptakan lapangan kerja selain di sektor pertambangan.
“Dengan penurunan produksi, penurunan harga, akhirnya dampak ekonomi masyarakat akhirnya ikut turun. Makanya Pertamina bersama Pemerintah Kabupaten (Bojonegoro) ini mengalihkan supaya masyarakat ini tidak hanya tergantung pada minyak, kita alihkan ke wisata ini,” lanjutnya.
Perbukitan di Desa Wonocolo saat ini mulai berbenah menjadi tempat wisata baru, berupa Wahana Wisata Migas Wonocolo. Staf Pariwisata, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bojonegoro, Arta, menuturkan, dijadikannya kawasan pengeboran minyak Wonocolo sebagai destinasi wisata merupakan alternatif pilihan bagi warga untuk mencari pendapatan, meski aktivitas menambang minyak masih tetap dijalankan oleh penambang.
“Karena wisata kan gak pernah mati Kalau minyak ini akan habis, pada saatnya nanti akan habis. Makanya kita bungkus dengan wisata, bisa wisata edukasi, nanti tentang pertambangan, nanti di rumah singgah itu ada semua, dokumenternya ada semuanya. Saling terkait, mulai dulu tradisionalnya seperti apa, itu ada semuanya nanti,” jelas Arta.
Bupati Bojonegoro, Suyoto mengatakan, potensi dan kekayaan alam yang dimiliki Bojonegoro merupakan modal besar untuk membangun daerah. Keunikan formasi minyak di Bojonegoro yang merupakan satu-satunya di dunia, harus dapat dimanfaatkan baik melalui eksploitasi migas maupun pariwisata geologi.
“Ternyata Bojonegoro itu menyimpan geologi heritage yang tidak ada di dunia. Bayangkan kelebihan Bojonegoro itu. Misalnya dari sisi formasi minyak, minyak Bojonegoro itu ada yang fosil darat, fosil laut sekalian ada. Fosil laut karena dulu kita laut kan, fosil darat juga ada. Itu tidak ada di dunia yang satu daerah dua-duanya terjadi. Yang kedua, bahwa minyak kita itu ada yang tempatnya 3.000 meter, tapi ada juga yang langsung di permukaan, batu antiklin istilahnya, yang tadinya di 2.500 meter itu ada di permukaan. Formasi-formasi seperti ini tidak ada di tempat lain,” kata Suyoto, Bupati Bojonegoro.
Wahyu serta pekerja tambang yang lain berharap, pemerintah tetap memperhatikan kesejahteraan masyarakat, yang menggantungkan hidupnya dari menambang minyak. “Emas Hitam” yang keluar dari bumi Bojonegoro, diharapkan tetap dapat dirasakan oleh masyarakat yang harus bersaing dengan pemilik modal maupun korporasi asing. [pr/lt]