Aksi penolakan RUU Permusikan ini dilakukan para pemusik di Surabaya, sebagai bentuk kegelisahan dan kekhawatiran terkekangnya kebebasan berekspresi para musisi. Diungkapkan oleh Ndimas, koordinator aksi Suara Merdeka, draf RUU Permusikan dinilai membelenggu para musisi dan pemusik jalanan, karena peraturan itu merepresi kebebasan musisi dalam menciptakan karya.
“RUU Permusikan membatasi ekspresi dari pada seniman, kalau misalnya itu dia hanya mengurusi masalah teknis tidak apa-apa, tapi ternyata ini mengurusi masalah dapur ya, lebih tepatnya di kreatifitas. Dihapus (tuntutannya), karena itu tidak berpihak kepada kami, karena itu juga berpihak pada industri yang istilahnya sangatlah besar,” ujar Ndimas.
Ndimas mengatakan, sejumlah pasal menjadi polemik dan dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, yakni mengenai kemerdekaan berserikat, berkumpul, serta mengeluarkan pendapat secara lisan maupun tertulis, yang dapat mengakibatkan musisi dipidana karena karyanya.
“Pasal yang paling krusial untuk ditolak itu ada di pasal 5, mengenai provokasi dan sebagainya, itu sudah ada di KUHP, kenapa kok harus diulang-ulang lagi. RUU Permusikan ini harus dikawal sampai memang benar-benar ini dicabut, karena nanti bisa luput seperti ITE,” ungkapnya.
Seniman Faisal menuturkan, keharusan adanya sertifikasi bagi musisi yang ada dalam draf RUU Permusikan, dinilai hanya menguntungkan industri besar di bidang musik, dan akan mengancam kelangsungan hidup musisi daerah atau kelas biasa.
“Ketika sertifikasi itu dilakukan di sekolah-sekolah seni, silakah, karena itu memang profesinya dia seperti itu. Setelah dia lulus dari sekolah seni itu, ya dia menjadi musisi, dan untuk mengetahui kualitasnya dia, ya dia ikut sertifikasi atau uji kemampuan. Sementara kalau misalnya harus disama ratakan seluruhnya, seluruh musisi yang ingin dikatakan musisi itu harus disertifikasi, apa jadinya musisi-musisi yang di jalanan, apa jadinya orang-orang yang memang proses berkeseniannya tidak melalui jalur akademis,” terang Faisal.
Kepada VOA, Ndimas menambahkan, penolakan terhadap RUU Permusikan menjadi kebulatan tekad para pemusik di Surabaya, agar upaya pembungkaman ini tidak berlanjut pada bidang seni dan budaya lainnya.
“Kalau misalnya sampai musik ini sudah mulai dibungkam, ini nanti akan merambah, bagaimana nasib tari, bagaimana nasib drama, teater, bagaimana nasib yang lainnya, padahal salah satu elemen dari suatu negara itu harus ada elemen kebudayaan yang mendukung, dan salah satunya adalah seniman. Dan ketika seniman ini dibungkam mau jadi apa, pemerintah mau jadi anti kritik,” tandasnya.
Sementara itu, Anggota Komisi E bidang Kesejahteraan Rakyat, DPRD Provinsi Jawa Timur, Agatha Retnosari saat menerima para pemusik ini menyatakan dukungan atas penolakan RUU Permusikan. Pihaknya akan mengawal hingga DPR pusat, agar RUU ini dicabut atau setidaknya tidak merugikan nasib para pemusik.
“Tuntutannya adalah menolak, kita pasang call tinggi. Sekalipun nanti ternyata di parlemen di tingkat pusat ternyata ini terus bergulir, maka harus kita kawal adalah DIM-nya, daftar inventarisasi masalah, di situ satu per satu harus kita kawal, mengapa? karena peraturan perundang-undangan yang ada di pusat, itu akan menentukan nasib pemusik-pemusik semuanya,” kata Agatha Retnosari. [pr/em]