Tiga minggu setelah penggulingan pemerintahan Bashar Al Assad, kelompok militan Hayat Tahrir Al Sham (HTS) mengatakan siap membubarkan diri, memulai dialog kebangsaan dengan semua elemen warga Suriah, menyusun konstitusi dan menyelenggarakan pemilu.
Langkah-langkah itu disampaikan Ahmad Al Sharaa, pemimpin HTS yang kini menjadi pemimpin de facto negara berpenduduk 23,5 juta jiwa itu saat diwawancarai jaringan televisi Arab Saudi, Al Arabiyya.
“Yang pasti, tidak tepat jika negara dijalankan dengan mentalitas kelompok dan golongan… Kesempatan untuk menjalankan negara adalah kesempatan terbesar untuk membubarkan Hayat Tahrir Al Sham, dan kami adalah orang-orang pertama yang membubarkan Hayat Tahrir Al Sham," tutur Al-Sharaa.
Ahmad Al-Sharaa menegaskan akan mengumumkan pembubaran resmi kelompok militan yang dipimpinnya itu dalam sebuah dialog kebangsaan, yang diperkirakan akan berlangsung pada awal Maret 2025. Di dalam dialog itu, tambah Ahmad, akan dibahas hal-hal penting untuk menyusun konstitusi baru, mempersiapkan infrastruktur dasar dan persiapan pelaksanaan pemilu. Semuanya diperkirakan akan selesai dalam waktu empat tahun.
“Menyusun konstitusi baru atau amandemen konstitusi sama-sama membutuhkan waktu yang lama, membutuhkan pandangan para pakar. Mungkin akan memakan waktu dua atau tiga tahun," kata Al-Sharaa
“Tentunya menyusun konstitusi baru karena ada banyak perincian yang harus dibahas dalam konstitusi yang akan kami berlakukan nanti, kami akan membangun kembali negara, bukan sekadar menjalankan urusan negara seperti yang terjadi di masa lalu," imbuhnya.
Di bagian lain wawancara itu Ahmad Al Sharaa mengatakan ia tahu besarnya harapan warga Suriah dan juga dunia internasional untuk segera melakukan pemulihan di negara yang terpecah belah dan selama 54 tahun terakhir berada di bawah kekuasaan keluarga Bashar Al Assad.
Distribusi Bantuan Terhalang Kekerasan
Salah seorang juru bicara Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres, Florencia Soto Nino-Martinez, mengatakan kepada wartawan di New York, Senin (30/12), bahwa meskipun telah terjadi peralihan kekuasaan, tetapi aksi kekerasan yang masih terus terjadi di beberapa daerah utama, seperti Aleppo, Homs, Hama, Latakia, Tartous, Deir-ez-Zor dan Quneitra; sehingga menyulitkan distribusi bantuan kemanusiaan.
Nino-Martinez merujuk pada insiden pada 27 Desember lalu yang terjadi hanya satu kilometer dari kantor PBB di Deir-ez-Zour dan membuat mereka terpaksa menangguhkan operasi.
“Dalam hampir satu bulan ini kami telah membagikan lebih dari 1,7 juta bantuan pangan kepada 265.109 orang di seluruh Suriah. Namun situasi keamanan yang masih tegang membuat operasi kemanusiaan di sebagian daerah terpaksa dihentikan," ujar Nino.
Konsensus Bersama
Utusan Khusus PBB Untuk Suriah Geir Pederson yang terbang ke Damaskus satu minggu setelah penggulingan pemerintahan Bashar Al Assad mengakui tantangan di negara yang dikoyak perang saudara itu “sangat besar” dan “tidak dapat dianggap remeh.”
Juru bicara Pedersen, Stephanie Tremblay mengatakan setelah menyampaikan laporan kepada Dewan Keamanan PBB pada 27 Desember lalu, dicapai consensus untuk memastikan transisi kekuasaan dipimpin dan dilakukan oleh rakyat Suriah.
Selain itu juga, untuk memastikan pemerintahan yang kredibel, inklusif, dan non-sektarian, juga reformasi konstitusional, pelaksanaan pemilihan umum yang bebas dan adil, serta partisipasi perempuan yang berarti, kata Tremblay.
Isu perempuan memang menjadi salah satu perhatian utama dunia saat terjadi peralihan kekuasaan di Suriah. Ratusan perempuan turun ke jalan-jalan di kota Hasaka pada Sabtu (28/12) lalu untuk menuntut hak-hak mereka. Salah seorang demonstran, Najah Al Omar, mengatakan perempuan Suriah tidak ingin hak mereka “hilang.”
“Kami tidak ingin hak-hak kami hilang. Hari ini, mereka yang menggantikan Bashar Assad ingin menghilangkan keberadaan kami dan hak-hak perempuan dengan cara Islam. Cara Islam tidak menghilangkan hak-hak kami. Kami tahu ajaran Islamis. Kami tahu agama kami. Kami memiliki kesadaran dan kami tahu bahwa pikiran dan segala yang kami miliki ini adalah karena kehendak Allah," kata Najah.
Kelompok militan yang menggulingkan Bashar Al Assad memang berakar pada ideologi Islam fundamentalis, sehingga meskipun mereka telah berulang kali menegaskan untuk menciptakan sistem pemerintahan yang pluralis dan mengikutsertakan semua elemen masyarakat, masih belum jelas pelaksanaannya kelak.
Sejumlah aktivis dan organisasi perempuan telah menggarisbawahi keinginan mereka agar hak-hak perempuan dilindungi dalam konstitusi baru nanti. [em/jm]
Forum