Rapat pleno Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Sleman, Yogyakarta pada Selasa (7/5) lalu sempat menghangat. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mengajukan protes, karena menduga ribuan suara mereka hilang. “Hasil penghitungan di PPK Kecamatan Depok, suara PPP 2.929. Tapi ketika sampai sini, suara PPP hilang 1.508 suara,” kata Ketua DPC PPP Sleman, HM Nasikhin memberikan penjelasan.
Untuk hitungan kabupaten, 1.508 tentu bukan jumlah yang sedikit. Angka itu bisa menentukan perolehan kursi. Apalagi, dalam kompetisi yang ketat, bahkan 1 suara sangat bermakna.
KPU Kabupaten Sleman merespon protes itu dengan membuka kembali dokumen penghitungan suara. Meski membuat jadwal terlambat dari target awal, proses ini menciptakan transparansi dan mengembalikan kepercayaan peserta Pemilu. Melalui penelitian berkas, diketahui bahwa mayoritas suara PPP itu pindah ke Partai Nasdem. KPU akhirnya mengembalikan jumlah suara hilang, dan menyerahkan hasil perhitungan ke KPU DIY, untuk kemudian dibawa ke pleno nasional di Jakarta.
Kesalahan Berujung Dugaan Kecurangan
Apa yang dialami PPP di Kabupaten Sleman hanya satu dari sekian banyak kesalahan selama proses penghitungan suara. Dalam kasus ini, dugaan kesengajaan pemindahan suara sedang diselediki oleh Bawaslu setempat. Rapat pleno Bawaslu telah memutuskan untuk melimpahkan kasus ke Sentra Tim Penegak Hukum Terpadu (Gakumdu). “Ada unsur pidana pemilu. Kami juga mendalami adanya dugaan pelanggaran kode etik,” kata Arjuna Al Ichsan Siregar dari Bawaslu Sleman.
Bentuk kesalahan lain yang mendapat sorotan begitu besar, adalah kekeliruan menulis angka dalam proses imput perolehan suara di Sistem Informasi Penghitungan Suara KPU. Kesalahan-kesalahan inilah yang selalu disebut oleh kubu Paslon 02 sebagai kecurangan. Isu lain yang menjadi bola panas adalah meninggalnya ratusan petugas pemungutan suara.
Ketua Badan Pemenangan Nasional (BPN) DIY, Dharma Setiawan, dalam pertemuan pengurus dan relawan di Yogyakarta, Rabu (15/5) mengatakan, secara nasional dugaan kecurangan sudah disampaikan secara bergantian oleh Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno di Jakarta.
“Terutama yang bersangkut paut dengan masalah kemanusian, itu yang kita tidak rela. Hampir 600 saudara kita meninggal dunia dan yang lucunya, pihak pemerintah dan KPU malah defensif, bukan mencari posisi untuk segera mencari apa sebab musababnya, tetapi mencari alasan legitimasi seolah-olah ini tidak ada masalah,” kata Dharma.
Dharma menegaskan, pihaknya mencatat ada puluhan ribu kecurangan yang terjadi selama proses Pemilu 2019. Tindakan-tindakan ini disebut sebagai kecurangan oleh mereka, karena yang diuntungkan oleh kesalahan itu kecenderungannya selalu pasangan 01. “Kalau itu kejadiannya tidak sengaja, mestinya akan berimbang, ini kan tidak,” tambah Dharma.
Calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto sendiri sudah menyatakan akan menolak hasil penghitungan suara Pemilu 2019 oleh KPU. Peryataan itu disampaikan dalam acara "Mengungkap Fakta-fakta Kecurangan Pilpres 2019" di Jakarta, Selasa (14/5).
Penolakan atas hasil penghitungan suara dilakukan, karena mereka menganggap telah terjadi kecurangan selama penyelenggaraan pemilu. Kecurangan itu dinilai terjadi sejak masa kampanye hingga rekapitulasi suara saat ini. “Saya akan menolak hasil penghitungan suara pemilu. Hasil penghitungan yang curang,” kata Prabowo.
BPN sendiri kemudian menjelaskan, bahwa yang ditolak oleh mereka adalah hasil penghitungan untuk pemilihan presiden. Artinya, penolakan tidak berlaku untuk penghitungan suara bagi calon legislatif.
Bagian Belajar Demokrasi
Pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Tunjung Sulaksono kepada VOA mengatakan, Indonesia sedang belajar berdemokrasi. Tunjung mengutip teori transisiologis, sebuah transisi suatu negara menuju demokrasi yang terkonsolidasi. Dikatakannya, salah satu prasyarat utama sebuah negara dapat disebut sebagai negara yang terkonsolidasi demokrasinya, adalah ketika masyarakat memandang Pemilu atau demokrasi, sebagai satu-satunya aturan main.
“Satu-satunya sarana permainan yang diakui untuk memilih wakil rakyat maupun pemimpin. Dalam konteks itu, siapapun akan menerima hasil pemilihan dengan legowo, baik yang menang maupun yang kalah,” kata Tunjung.
Apa yang belakangan ini terjadi, termasuk upaya menolak hasil Pemilu, tambah Tunjung, menunjukkan bahwa Indonesia belum sampai pada tahap consolidated democracy.
Bergerak dari negara otoriter, Indonesia masuk ke iklim demokrasi sejak 1998. Semua persoalan yang dihadapi dalam rentang waktu sampai saat ini membuktikan bahwa proses menjadi negara yang demokrasinya terkonsolidasi tidaklah mudah. Tunjung menegaskan, banyak proses kelembagaan yang hasilnya harus ditunggu tidak cukup 1-2 tahun, bahkan 10 tahun. Semua itu karena Indonesia sedang mencari bentuk demokrasi yang paling baik di Indonesia. Termasuk di dalamnya, lembaga demokrasi yang paling tepat dan kokoh untuk bisa mendukung proses demokrasi itu sendiri.
“Dalam konteks itu, agak kita sayangkan belakangan muncul suara mencoba mendelegitimasi lembaga penyelenggara Pemilu di Indonesia, termasuk KPU, Bawaslu dan DKPP. Dianggap punya agenda terselubung. Ini agak berlebihan. Kalau KPU punya kelemahan, itu wajar dan harus dikritisi masyarakat untuk mengawal dan mamastikan agar KPU tetap imparsial, tetap netral,” kata Tunjung.
Demokrasi tidak sekali jadi, tambahnya, dan Indonesia menerapkan sistem pemilu paling rumit dan melelahkan di dunia. Mencari sistem yang paling tepat membutuhkan waktu. KPU menurut Tunjung, berada pada titik krusial untuk menemukan bentuk yang ideal itu.
Hasil perhitungan manual KPU akan menjadi penutup dari seluruh rangkaian rekrutmen politik di Indonesia. Apapun hasilnya, ujar Tunjung, seperti itulah proses demokrasi Indonesia.
“Mudah-mudahan kita bisa menerima siapapun yang menang dan kalah dan kembali ke ikatan harmoni sosial yang sempat koyak. Mengakui hasil itu tidak berarti kita melupakan kelemahan KPU. Justru dengan proses ini, kita bisa mengetahui mana saja titik lemah KPU. Karena KPU ini milik kita. Kalau tidak memakai Pemilu, kita mau memilih pemimpin pakai cara apa?” tambahnya. [ns/lt]