KPU sebenarnya memiliki perhatian besar bagi pemilih penyandang disabilitas. Buktinya, banyak aturan hukum dibuat untuk memayungi layanan bagi mereka. Sayangnya, pelaksanaan niat baik itu belum sepenuhnya maksimal di lapangan. Banyak penyandang difabel tidak memiliki akses ke TPS.
Untuk membantu membuka akses itu, empat organisasi peduli difabel di Yogyakarta membentuk Gerakan Aksesibilitas untuk Demokrasi (GANDEM). Keempat organisasi itu adalah Samasetara, Center for Improving Qualified Activity in Life of People with Disabilities (CIQAL), Difabike, dan Organisasi Harapan Nusantara (Ohana Indonesia). Layanan mereka adalah penjemputan dari rumah ke TPS dan sebaliknya, bagi kelompok rentan agar bisa mencoblos.
“KPU di berbagai tingkatan telah melakukan sosialisasi kepada orang dengan disabilitas mengenai teknis pencoblosan. Namun, KPU tidak memiliki solusi, bagaimana orang dengan disabilitas mendapatkan akses yang setara untuk datang ke TPS,” kata Arya Mahdi dari Samasetara.
Risnawati Utami dari Ohana Indonesia juga melihat, aturan dari KPU sudah cukup lengkap, namun pelaksanannya memiliki banyak kekurangan. Di tingkat KPU daerah, belum ada cukup sumber daya manusia yang memahami isu penyandang disabilitas dan Pemilu.
Salah satu kelemahan pelaksanaan aturan di tingkat daerah, kata Risnawati, adalah ketiadaan dukungan individu. Negara sudah menjamin hak politik kelompok rentan dan menyusun panduan dalam pemenuhannya. Namun tidak ada petunjuk yang jelas, misalnya bagi kelompok lanjut usia, mereka yang sakit di rumah, atau difabel, apakah didatangi ke rumah masing-masing ataukah dijemput agar bisa mencoblos di TPS. Isu ini sama sekali tidak menjadi perhatian di daerah.
“Bahkan dalam pembiayaan harus disertakan soal akomodasi yang layak, karena ini sudah menjadi komitmen negara. Indonesia sudah meratifikasi konvensi hak penyandang disabilitas, berarti itu sudah ada komitmen politik. Nah, komitmen politik berarti ada anggarannya juga, yang artinya negara harus menyediakan. Karena itu sudah menjadi kewajiban negara, ketika meratifikasi konvensi dan membuat UU organik di dalam negerinya,” papar Risnawati.
Indonesia sudah memiliki UU No 8 tahun 2016, yang memuat partisipasi politik kelompok disabilitas. Karena itulah, KPU harus menyusun prosedur standar operasional dan dilaksanakan di tingkat lokal. Di banding Pemilu sebelumnya, kata Risnawati, tidak ada kemajuan berarti dalam pemenuhan hak difabel. Padahal Pemilu kali ini untuk pertama kali amanat UU No 8 tahun 2016 harus dilaksanakan secara nasional.
Pada Pemilu 2019 ini, Gandem didukung oleh 15 orang relawan, 6 unit sepeda motor roda tiga untuk membawa kursi roda, 12 unit kursi roda, 2 unit sepeda motor, dan 3 unit mobil. Relawan berasal dari komunitas disabilitas sendiri, kalangan mahasiswa, komunitas otomotif, dan masyarakat.
Menurut catatan KPUD DIY, setidaknya ada 11.342 difabel yang tercatat dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Gandem dalam laporannya mencatat, sebaran mereka cukup beragam. Misalnya di empat desa yang mereka pantau, setidaknya ada 23 pemilih membutuhkan bantuan mobilitas.
Sementara di kawasan lain, misalnya di Kecamatan Bambanglipuro dan Kecamatan Pundong di Bantul, banyak kelompok rentan tidak bisa ke TPS karena tak ada bantuan akses.
“Sejumlah TPS juga tidak ramah difabel karena berundak-undak atau memiliki anak tangga yang menyulitkan pengguna kursi roda. Misalnya di TPS 25 Desa Sidoarum dan TPS 19 Bangunkerto di Sleman. Dan masih banyak lagi di wilayah lain,” kata Ibnu Sukaca dari Ciqal yang terlibat dalam Gandem.
Selain itu, Gandem juga mencatat kasus dimana alat bantu coblos bagi disabilitas netra tidak tersedia untuk semua surat suara. Dalam kasus ini, KPPS akhirnya hanya memberikan dua surat suara untuk disabilitas netra, yaitu surat suara Presiden dan Wakil presiden dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Ada juga disabilitas Orang Dengan Ganjuan Jiwa (ODGJ) yang datang ke TPS sejak pagi, namun hingga pukul 13.00 WIB belum menggunakan hak pilih. Dia akhirnya justru diminta pulang dengan alasan TPS sudah tutup.
Beberapa kasus itu tidak sesuai dengan bunyi Pasal 5 UU No. 7 tahun 2017 tentang pemilu. Di dalamnya dikatakan “Penyandang disabilitas yang memenuhi syarat mempunyai kesempatan yang sama sebagai Pemilih, sebagai calon anggota DPR, sebagai calon anggota DPD, sebagai calon Presiden/Wakil Presiden, sebagai calon anggota DPRD, dan sebagai Penyelenggara Pemilu.”
Gandem menilai, dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa orang dengan disabilitas mempunyai kesempatan yang sama sebagai pemilih dan kandidat yang dipilih. Dalam tataran yang lebih rinci, ditetapkan pula bahwa pemilih disabilitas netra, disabilitas fisik, dan yang mempunyai halangan fisik lainnya pada saat memberikan suaranya di TPS dapat dibantu oleh orang lain atas permintaan pemilih. Karena itulah, tidak ada alasan apapun bagi panitia pemungutan suara untuk mengesampingkan hak kelompok difabel dalam Pemilu.
Anggiasari Puji Aryatie dari Samasetara menambahkan, tantangan pemenuhan hak politik kelompok difabel juga datang dari keluarganya sendiri. Ada pemahaman dari sebagian keluarga yang berkeyakinan, difabel tidak harus menyuarakan pilihan politik. Mereka juga tidak mau repot membawa anggota keluarganya yang difabel ke TPS.
“Akhirnya ini menambah angka Golput, padahal selama ini yang kita gaungkan adalah jangan Golput. Tetapi karena ketiadaan akses bagi teman-teman difabel, akhirnya mereka tidak bisa melaksanakan hak pilihnya dan menjadi Golput,” kata Anggi.
Karena itulah, kata Anggi, penting melibatkan organisasi disabilitas dalam Pemilu untuk memastikan pemenuhan hak kelompok ini. KPU tidak boleh berhenti dan merasa cukup dengan mencatat nama-nama mereka dalam DPT. Harus ada upaya untuk memastikan, bahwa difabel yang sudah tercantum namanya itu, benar-benar bisa datang ke TPS. “Banyak teman-teman difabel yang merasa dirugikan dengan kondisi ini,” tambah Anggi.
Gandem memberikan sejumlah rekomendasi untuk perbaikan Pemilu ke depan. Pertama, pemerintah harus memasukkan pengaturan pemilih disabilitas lebih rinci dalam UU Pemilu. Partai politik peserta Pemilu juga wajib menyediakan materi kampanye ramah difabel.
Prosedur operasi standar yang ramah disabilitas dalam pelaksanaan pemungutan suara juga harus dibuat.Di dalamnya memuat standar bentuk TPS, teknik pencoblosan ramah difabel, alat bantu pencoblosan bagi disabilitas netra, dan aturan pendampingan yang lebih jelas dan tidak multitafsir. Pemerintah juga harus memasukkan wawasan inklusi dan kesetaraan tentang pemilih disabilitas sebagai materi standar dalam pelatihan penyelenggara pemilu di berbagai tingkatan. [ns/ab]