JAKARTA —
Pemerintah saat ini tengah menyusun Rancangan Undang-undang (RUU) Perampasan Aset yang memungkinkan aset seseorang dirampas tanpa orang tersebut dihukum terlebih dahulu. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan merupakan salah satu lembaga yang turut menyusun RUU tersebut.
Wakil Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Agus Santoso kepada VOA, Rabu (20/3) menjelaskan Rancangan Undang-undang ini mengatur soal perampasan aset yang tidak bertuan seperti penemuan kayu dari penebangan liar dimana pelakunya melarikan diri dan juga hasil penyelundupan yang ditemukan aparat.
Selain itu, ujarnya, peraturan ini juga dapat digunakan untuk merampas aset para koruptor yang melarikan diri ke luar negeri maupun meninggal dunia.
Sedangkan perampasan aset koruptor yang menjalani proses hukum, tambah Agus, dapat dilakukan melalui asas pembuktian terbalik dimana para koruptor harus membuktikan di pengadilan soal asal usul hartanya. Jika tidak dapat dibuktikan, maka aset mereka dapat dirampas oleh negara, ujar Agus.
“Itu harus dimulai dari awal. Mungkin sekarang ini KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sudah percaya diri untuk melakukan penuntutan secara kumulatif. Penyelidikan kumulatif, penuntutan kumulatif. Kami dari PPATK sudah mendorong ini supaya KPK melakukan itu. Kejaksaan juga melakukan seperti itu untuk yang korupsi utama,” ujarnya.
Peneliti Hukum dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz menyambut baik RUU tersebut. Menurutnya, perampasan aset tanpa melalui jalur peradilan dipraktikkan di sejumlah negara seperti Australia.
Aturan seperti ini, kata Donal, memudahkan atau memberi ruang kepada penegak hukum untuk bisa merampas aset-aset yang berasal dari tindak pidana termasuk korupsi.
Selama ini, lanjut Donal, upaya mengambil aset hasil tindak pidana hanya dapat dilaksanakan jika pelaku kejahatan oleh pengadilan dinyatakan terbukti secara sah melakukan tindak pidana.
Perampasan aset, menurut Donal, juga tidak dapat dilakukan apabila terdakwa meninggal dunia, melarikan diri, sakit permanen, atau tidak diketahui keberadaannya, bahkan diputus lepas dari segala tuntutan.
“Kalau perampasan aset itu direalisasikan, saya yakin itu bisa mendorong upaya yang lebih maksimal untuk memberantas tindak pidana korupsi. Kita minta itu dibahas, libatkan publik secara luas, sehingga hal-hal yang menjadi problem bisa diatasi,” ujarnya.
Hukuman dalam bentuk pemiskinan kepada koruptor juga harus diterapkan secara efektif di Indonesia, menurut aktivis ICW Tama S. Langkun.
“Pada titik ini, kita menilai efek jera untuk pelaku-pelaku korupsi ini sangat ringan. Mereka sudah takut lagi pada perbuatan korupsi karena hari ini korupsi dianggap resikonya kecil untungnya gede,” ujarnya.
“Nah ini harus dibalik, bagaimana cara baliknya salah satu caranya soal perampasan aset, diantaranya memiskinkan koruptor itu. Semua harta-harta yang diduga bersumber dari kejahatan diantaranya korupsi boleh didaftarkan untuk disita.”
Berdasarkan catatan ICW, sejak pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) daerah terbentuk, setidaknya 51 terdakwa divonis bebas dengan skor tertinggi dipegang Pengadilan Tipikor Surabaya dan Samarinda.
Wakil Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Agus Santoso kepada VOA, Rabu (20/3) menjelaskan Rancangan Undang-undang ini mengatur soal perampasan aset yang tidak bertuan seperti penemuan kayu dari penebangan liar dimana pelakunya melarikan diri dan juga hasil penyelundupan yang ditemukan aparat.
Selain itu, ujarnya, peraturan ini juga dapat digunakan untuk merampas aset para koruptor yang melarikan diri ke luar negeri maupun meninggal dunia.
Sedangkan perampasan aset koruptor yang menjalani proses hukum, tambah Agus, dapat dilakukan melalui asas pembuktian terbalik dimana para koruptor harus membuktikan di pengadilan soal asal usul hartanya. Jika tidak dapat dibuktikan, maka aset mereka dapat dirampas oleh negara, ujar Agus.
“Itu harus dimulai dari awal. Mungkin sekarang ini KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sudah percaya diri untuk melakukan penuntutan secara kumulatif. Penyelidikan kumulatif, penuntutan kumulatif. Kami dari PPATK sudah mendorong ini supaya KPK melakukan itu. Kejaksaan juga melakukan seperti itu untuk yang korupsi utama,” ujarnya.
Peneliti Hukum dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz menyambut baik RUU tersebut. Menurutnya, perampasan aset tanpa melalui jalur peradilan dipraktikkan di sejumlah negara seperti Australia.
Aturan seperti ini, kata Donal, memudahkan atau memberi ruang kepada penegak hukum untuk bisa merampas aset-aset yang berasal dari tindak pidana termasuk korupsi.
Selama ini, lanjut Donal, upaya mengambil aset hasil tindak pidana hanya dapat dilaksanakan jika pelaku kejahatan oleh pengadilan dinyatakan terbukti secara sah melakukan tindak pidana.
Perampasan aset, menurut Donal, juga tidak dapat dilakukan apabila terdakwa meninggal dunia, melarikan diri, sakit permanen, atau tidak diketahui keberadaannya, bahkan diputus lepas dari segala tuntutan.
“Kalau perampasan aset itu direalisasikan, saya yakin itu bisa mendorong upaya yang lebih maksimal untuk memberantas tindak pidana korupsi. Kita minta itu dibahas, libatkan publik secara luas, sehingga hal-hal yang menjadi problem bisa diatasi,” ujarnya.
Hukuman dalam bentuk pemiskinan kepada koruptor juga harus diterapkan secara efektif di Indonesia, menurut aktivis ICW Tama S. Langkun.
“Pada titik ini, kita menilai efek jera untuk pelaku-pelaku korupsi ini sangat ringan. Mereka sudah takut lagi pada perbuatan korupsi karena hari ini korupsi dianggap resikonya kecil untungnya gede,” ujarnya.
“Nah ini harus dibalik, bagaimana cara baliknya salah satu caranya soal perampasan aset, diantaranya memiskinkan koruptor itu. Semua harta-harta yang diduga bersumber dari kejahatan diantaranya korupsi boleh didaftarkan untuk disita.”
Berdasarkan catatan ICW, sejak pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) daerah terbentuk, setidaknya 51 terdakwa divonis bebas dengan skor tertinggi dipegang Pengadilan Tipikor Surabaya dan Samarinda.