Ratusan mahasiswa yang merupakan gabungan dari sejumlah kampus di Banda Aceh mendatangi pengungsi etnis minoritas Muslim-Rohingya yang ditampung di Balai Meuseuraya, Banda Aceh. Para mahasiswa menarik dan mengangkut para pengungsi Rohingya dengan truk untuk dipindahkan ke kantor Kemenkumham Aceh.
Tindakan tersebut merupakan salah satu kekhawatiran banyak pihak selama ini ketika pemerintah terkesan tidak serius menangani pengungsi Rohingya.
Sejak 14 November sampai 10 Desember lalu, sudah ada sembilan gelombang pengungsi Rohingya masuk ke wilayah Indonesia melalui kabupaten Pidie, Bireun, Aceh Besar, dan Kota Sabang.
Berbeda dengan sebelumnya, kali ini warga Bumi Serambi Mekkah itu tidak menerima mereka dengan tangan terbuka. Warga terang-terangan menolak mereka dengan berbagai alasan. Pemerintah lokal tidak dapat berbuat banyak selain menjaga agar tidak terjadi bentrokan antara para pengungsi dan warga lokal, karena tidak mendapat arahan apapun dari pemerintah pusat.
Peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Faudzan Farhana kepada VOA mengatakan penanganan pengungsi Rohingya di Indonesia selama ini seperti diserahkan kepada masyarakat. Pemerintah, lanjutnya, tidak pernah serius menangani persoalan tersebut.
“Ya pasti akan ada risiko seperti yang terjadi belakangan ini, bahwa masyarakat biar bagaimanapun ketika memberikan bantuan sebisa mereka, sesuai dengan kemampuan mereka. Sementara masyarakat di Aceh, kita tahu kondisi mereka seperti apa. Saya melihat reaksi penolakan belakangan ini semacam bara dalam sekam yang selama ini menunggu untuk terbakar," ungkapnya.
Farhana menyebutkan kedatangan pengungsi Rohingya ke Indonesia bukan hal baru dan pemerintah sebenarnya sudah memiliki Peraturan Presiden Nomor 126 Tahun 2016 tentang penanganan pengungsi Rohingya yang datang dari laut. Namun, yang menjadi pertanyaan mengapa pada pelaksanaannya mulai tingkat pusat hingga daerah penanganan pengungsi Rohingya tidak berjalan baik.
"Kekurangannya di perpres itu hanya mengatur soal penanganan darurat. Kalau ada (pengungsi Rohingya) ditolong dulu, dikasih makan, dikasih baju, dikasih minum. Tapi setelah itu bagaimana, nggak diatur. Dibentuk satgas untuk mengerjakan itu. Namun, satgas tidak dibekali dengan dana khusus untuk memberi makan," kata Farhana.
Ditambahkannya, dalam praktiknya penanganan darurat pengungsi Rohingya diserahkan kepada Organisasi Migrasi Internasional (International Organization for Migration/IOM) dan Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) urusan Pengungsi (United Nations High Commissioner For Refugees/UNHCR).
Padahal, menurutnya, penanganan pengungsi Rohingya sedianya dilakukan di dua level, yaitu di akar persoalan yang membuat etnis minoritas ini tidak diakui di negaranya sendiri, dipersekusi dan dipaksa keluar dari Myanmar dan di level nasional Indonesia sendiri.
Dua Level Penyelesaian
Untuk menyelesaikan akar permasalahan itu, Farhana mengatakan Indonesia sedianya mendesak Myanmar sebagai negara asal pengungsi Rohingya untuk duduk bersama negara-negara yang kini kedatangan pengungsi itu, yakni Indonesia, Malaysia, dan Thailand.
Selain memperkuat pembahasan di tingkat pejabat senior ASEAN, perlu juga memperluas mandat dari Pusat Koordinasi Bantuan Kemanusiaan ASEAN dalam Penanggulangan Bencana (Asean Coordinating Centre For Humanitarian Assistance/AHA Center) yang selama ini hanya memberikan bantuan kemanusiaan terhadap korban bencana alam. AHA Center sedianya dapat juga menangani bencana akibat perang, termasuk penanganan pengungsi Rohingya.
Pada level nasional Indonesia, lanjut Farhana, pemerintah tidak bisa hanya melakukan penanganan darurat dan menyerahkan kepada IOM atau UNHCR, tetapi ikut juga membantu dana penanganan pengungsi ini.
Buah Simalakama Bagi Indonesia
Bagi Indonesia yang baru saja terpilih untuk keenam kalinya dengan suara tertinggi sebagai anggota Dewan Hak-hak Asasi Manusia (HAM )PBB 2024-2026, penanganan pengungsi Rohingya sedianya menjadi peluang untuk mewujudkan perannya terhadap kemanusiaan dan HAM saat ini. Meskipun di saat bersamaan, isu ini juga dapat menjadi batu sandungan bagi langkah diplomasi ke depan.
Untuk itu Faudzan Farhana menilai sudah saatnya merevisi Perpres 125 dengan melengkapi perlindungan HAM, baik kepada pengungsi yang ditangani maupun aktor-aktor pelaksana penanganan pengungsi di lapangan.
Indonesia Tak Pernah Teken Konvensi Pengungsi
Menanggapi hal itu, juru bicara Kementerian Luar Negeri Lalu Muhammad Iqbal kembali mengingatkan bahwa Indonesia bukan pihak penandatangan konvensi mengenai pengungsi, sehingga tidak memiliki kewajiban legal dalam penanganan pengungsi Rohingya.
"Tetapi sebagai negara beradab, Indonesia memiliki kewajiban moral dan kewajiban kemanusiaan dan itulah yang dilakukan. Sehingga hampir semua pendatang yang masuk dari Cox's Bazar dalam periode November-Desember, tidak ada yang diusir. Semuanya diterima masuk ke wilayah Indonesia," tuturnya.
Dia menekankan pemerintah Indonesia ingin memikirkan untuk memberikan penampungan sementara dan dukungan bagi pengungsi Rohingya. Namun, pada saat yang sama, Indonesia mengimbau negara-negara penandatangan konvensi tentang pengungsi untuk menunjukkan tanggung jawab yang lebih besar dalam menangani pengungsi Rohingya.
Jaringan Perdagangan Manusia
Fakta di lapangan menunjukkan indikasi sangat kuat pengungsi Rohingya menjadi korban sindikat perdagangan manusia. Indonesia, ujar Iqbal, sebagai penandatangan konvensi anti-perdagangan manusia mempunyai kewajiban untuk mencegah dan memerangi kejahatan perdagangan manusia, khususnya dalam kasus pengungsi Rohingya karena mereka yang menjadi korban.
Seorang pengungsi Rohingya berinisial MA, telah ditetapkan oleh Polresta Banda Aceh sebagai tersangka kasus perdagangan manusia. Ia terbukti aktif mengajak para pengungsi Rohingya di kamp Cox's Bazar Bangladesh untuk ikut berlayar ke Aceh, dengan meminta bayaran Rp 14-16 juta per orang. Polisi masih menelusuri keterlibatan pihak lain, termasuk warga di dalam Indonesia sendiri, yang terlibat dalam perdagangan manusia ini. [fw/em]
Forum