Survei Migrant Care di bandara internasional Soekarno Hatta pada 2015-2016, mendapati 2.793 PRT yang tetap diberangkatkan ke Timur Tengah, termasuk 1.021 orang PRT yang baru berangkat pertama kali dengan menggunakan visa umrah, ziarah, dan mengunjungi keluarga. Ketua Migrant Care Anis Hidayah mengatakan ini menunjukkan moratorium PRT ke Timur Tengah terbukti tidak efektif.
Moratorium pengiriman pembantu rumah tangga itu dilakukan setelah keluar surat keputusan Menteri Tenaga Kerja (Mennaker) nomor 260 tahun 2015 tentang penghentian pelarangan penempatan tenaga kerja Indonesia pada pengguna perorangan di negara-negara Timur Tengah. SK Mennaker itu dijadikan momentum untuk merevisi undang-undang terkait perlindungan buruh migran di luar negeri.
Namun menurut Anis Hidayah, moratorium bukan satu-satunya jalan keluar karena banyak buruh migran tetap berangkat kesana, baik karena faktor sulitnya mendapat pekerjaan akibat pendidikan yang rendah, maupun karena daya tarik gaji yang dinilai tinggi. Ditambahkannya, praktek perdagangan manusia ini tidak bisa diselesaikan dengan hanya mencabut surat izin perusahaan pengirim buruh migran atau memberikan sanksi lainnya.
“Jadi desakan kami adalah moratorium ini tidak boleh dibiarkan bekerpanjangan, menjatuhkan korban lebih banyak, tetapi segera presiden memimpin evaluasi. Apa yang mau didapat dari moratorium ini karena kejahatannya makin banyak implikasi dari moratorium. Ini membuka keran luar biasa praktek-praktek perdagangan orang,” ujar Ketua Migrant Care Anis Hidayah.
Hal senada disampaikan Direktur Migrant Institute Muhammad Adi Chandra. Menurutnya moratorium terbukti tidak berjalan karena tingginya angkatan kerja lulusan SMP ke bawah, yang kini diperkirakan mencapai 60% dan tidak terserap lapangan kerja. Sementara itu permintaan tenaga kerja dari Timur Tengah juga sangat tinggi. Tak heran jika banyak penyalur tenaga kerja tetap tergoda untuk melanjutkan bisnis ini. Bahkan menurut data APJATI (Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia, lebih dari lima ribu TKI ilegal diberangkatkan ke negara-negara di Timur Tengah setiap bulan setelah moratorium itu ditandatangani.
“Saya mengatakan tidak mungkin. Ada dua hal. Pertama, pembantu rumah tangga itu tetap dibutuhkan di manapun. Kedua, datanya tidak realisitis. Data BNP2TKI itu masih 47 persen pembantu rumah tangga. Nggak mungkin tahun ini stop. Kalau mau dijadwal ulang tapi bukan tahun ini,” ujar Direktur Migrant Institute Muhammad Adi Chandra.
Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri mengatakan pemerintah masih akan memberlakukan moratorium penempatan TKI sektor informal atau pekerja rumah tangga ke Arab Saudi karena lebih memprioritaskan penempatan tenaga kerja terlatih.
“Dalam jangka pendek kita harus menyiapkan penanganan dari mereka-mereka yang sudah bekerja di luar negeri. Yang kedua, kita juga harus melakukan evaluasi terhadap negara-negara penempatan. Jadi artinya ada pentahapan-pentahapan di dalam proses penghentian dari tenaga kerja Indonesia sektor informal,” papar Menaker Hanif Dhakiri.
Tidak bisa dipungkiri bahwa TKI merupakan sumber devisa yang cukup besar bagi negara. Tahun 2016 lalu saja keluarga TKI menerima kiriman uang atau remitansi yang jumlah keseluruhannya mencapai 97 triliun rupiah. Penelitian yang dilakukan Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menunjukkan selama 2000-2007 remitansi telah membantu mengurangi angka kemiskinan di Indonesia hingga 26,7%. [fw/em]