Rose Tilus berusia 17 tahun ketika keluarganya mengirimnya dari Haiti untuk tinggal bersama seorang kerabat di Florida. Orang tua Tilus ketika itu mengkhawatirkan keselamatannya karena kerusuhan politik dan sipil di Haiti. Tilus meninggalkan empat saudara kandung di negara asalnya.
Itu 20 tahun yang lalu. Sekarang, Tilus masih hidup dalam ketakutan. Namun kali ini berkisar pada status keimigrasiannya di Amerika.
“Setiap hari saya berpikir 'Bagaimana jika saya dideportasi? Bagaimana jika saya dipulangkan?’ Jadi itu selalu di benak saya. Apa yang akan saya lakukan?” kata Tilus.
Tilus termasuk di antara 300 ribu lebih warga negara asing yang tinggal di AS dengan Status Perlindungan Sementara (Temporary Protection Status/TPS). Penunjukan tersebut memungkinkan warga Haiti dan 11 negara lain yang memenuhi persyaratan tertentu untuk dilindungi dari deportasi dan mendapatkan izin kerja. Namun, status tersebut tidak memberi mereka jalan memiliki status permanen dan kewarganegaraan AS.
Menurut definisinya, TPS dirancang sebagai perlindungan kemanusiaan sementara. Sebagaimana dikatakan oleh Menteri Keamanan Dalam Negeri John Kelly pada 2017, "TPS sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang secara inheren bersifat sementara, dan penerima manfaat harus merencanakan dengan tepat bahwa status ini akhirnya bisa berakhir."
Namun, bagi banyak orang, status itu telah berulang kali diperpanjang dan diperbarui untuk membangun kehidupan di AS. Dalam kasus Tilus, ia telah menjadi seorang perawat, melayani di garis depan dalam melawan pandemi virus corona, dan sudah memperoleh gelar pendidikan pasca sarjana.
Setelah lebih dari satu dekade hidup dari perpanjangan demi perpanjangan di bawah pemerintahan AS yang berbeda, Tilus mengatakan ia merasa seperti terjebak dalam lubang dan tidak bisa keluar dari lubang itu.
Bagi banyak pemegang TPS, harapan jalan menuju kewarganegaraan AS, Senin (7/6), pupus ketika Mahkamah Agung (MA) AS memutuskan bahwa imigran tertentu yang memiliki status TPS tidak bisa mendapatkan kartu hijau, atau menjadi penduduk tetap, di Amerika.
Keputusan bulat MA itu mempengaruhi mereka yang masuk ke Amerika secara tidak sah dan tanpa pemeriksaan. Para hakim dengan suara bulat memutuskan bahwa memiliki status TPS bukan berarti sah untuk menetap di Amerika. Salah satu syarat untuk meningkatkan status mereka selagi tinggal di AS untuk menjadi pemegang kartu hijau adalah masuk ke AS secara sah atau legal.
Meskipun Tilus tidak terdampak oleh kasus tersebut, karena ia masuk ke AS dengan visa turis, keputusan tersebut merupakan pukulan bagi pemegang TPS yang masuk ke AS secara tidak sah.
Menurut Stephen Yale-Loehr, profesor hukum imigrasi dari fakutas hukum Cornell University, langkah selanjutnya bisa tergantung pada Kongres.
“MA menyatakan Kongres bisa memperbaiki masalah itu melalui undang-undang. Memang, rancangan undang-undang (RUU) semacam itu masih tertunda di Kongres. Keputusan MA tersebut menyoroti perlunya Kongres memberlakukan undang-undang imigrasi guna memperbaiki sistem imigrasi kita yang bermasalah,” kata Yale-Loehr.
Yale-Loehr mengatakan beberapa pemegang TPS telah tinggal di AS selama lebih dari 20 tahun. [my/ka]