Pembicaraan mengenai dihidupkannya kembali perjanjian nuklir Iran 2015 dimulai pada Senin (29/11) di Wina, setelah jeda lima bulan. Ini pembicaraan pertama yang berlangsung sejak presiden baru menjabat di Iran.
Seperti enam babak perundingan sebelumnya, yang dimulai pada April lalu, AS berpartisipasi secara tidak langsung, seperti halnya pada perjanjian 2015, yang dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Bersama. Iran akan melakukan pembicaraan langsung dengan para penandatangan lain perjanjian itu – Inggris, China, Prancis, Rusia dan Jerman – dengan para diplomat Eropa akan bolak balik untuk berkonsultasi dengan pihak AS.
Yang menjadi pembahasan dalam pembicaraan ini adalah dimulainya kembali perjanjian yang membatasi program nuklir Iran yang berlangsung antara 10 dan 15 tahun sebagai imbalan pelonggaran sanksi.
AS mundur dari perjanjian itu pada tahun 2018 dalam masa pemerintahan Presiden Donald Trump. Setelah itu, Iran mulai menjauh dari komitmennya.
Hingga kini, Iran telah melampaui batas yang disepakatinya mengenai jumlah uranium yang disimpannya, memperkaya uranium ke kadar yang lebih tinggi dan menggunakan sentrifugal yang lebih canggih di fasilitas nuklirnya.
Perjanjian itu awalnya muncul sebagai tanggapan atas kekhawatiran bahwa Iran sedang berusaha membuat senjata nuklir. Ini dibantah Iran yang menyatakan bahwa program nuklirnya adalah untuk keperluan damai seperti untuk riset dan membangkitkan listrik.
Akses IAEA Dibatasi
Dalam perkembangan lainnya Badan Energi Atom Internasional (IAEA) mengatakan beberapa anggota tim pemeriksa badan itu telah diperlakukan secara kasar. Akses IAEA untuk memasang kembali kamera pemantau di lokasi-lokasi yang dianggap penting untuk menghidupkan kembali perjanjian tahun 2015 juga telah ditolak.
Tim perunding Amerika Serikat (AS) Robert Malley pada Sabtu (27/11) lalu mengatakan pada BBC Sounds bahwa “jika Iran berpikir dapat menggunakan kesempatan ini untuk membangun lebih banyak pengaruh dan kemudian kembali mengatakan mereka menginginkan sesuatu yang lebih baik, maka hal itu tidak akan berhasil. Kami dan mitra-mitra kami tidak akan memenuhi hal itu.”
Heinz Gartner, pakar politik di International Institute for Peace di Wina, mengatakan pada VOA bahwa ia yakin bukan merupakan kepentingan Amerika atau Iran untuk “menunda-nunda” upaya mencapai kesepakatan.
“Jika perundingan ini berlarut-larut dalam waktu yang lama, Iran tidak akan berpangku tangan. Mereka akan membuat kemajuan dalam program nuklir dan pengayaan uranium, yang dikhawatirkan Amerika,” ujar Gartner.
“Di sisi lain panjangnya perundingan ini akan buruk bagi Iran karena semakin mereka mencapai perjanjian ini maka mereka pula yang akan mendapatkan keuntungan ekonomi,” tambahnya. [uh/ab] [em/lt]