Sepanjang tahun 2017, ada 17 kasus kekerasan seksual dengan korban dari kelompok difabel, di Yogyakarta dan sekitarnya, yang dilaporkan ke Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (Sapda).
Menurut sejumlah pengamat angkat itu tidak mencerminkan fakta lapangan yang sesungguhnya. "Sebenarnya banyak sekali yang tidak dilaporkan dengan alasan itu aib, apalagi pelaku biasanya orang terdekat, bisa keluarga atau tetangga, " kata Nurul Saadah Andriani SH, Direktur Sapda.
Kasus terakhir di Yogyakarta terjadi November 2017 lalu. Seorang perempuan bisu-tuli menjadi korban kekerasan seksual hingga meninggal. Kejadian berlangsung siang hari, ketika rumahnya sepi. Tak ada tetangga yang tahu karena korban tidak bisa berteriak meminta tolong.
Indonesia mengalami peningkatan tren kekerasan seksual terhadap perempuan, khususnya kelompok difabel. Perempuan difabel adalah korban yang mudah bagi pelaku. Kebanyakan mereka tidak mampu membela diri, dan bahkan ada yang tidak sadar sudah menjadi korban.
Banyak keluarga yang memiliki anak perempuan difabel, kemudian mengambil jalan pintas. Salah satunya yang umum dilakukan adalah memasang alat kontrasepsi.
“Selain kekerasan seksual seperti itu, ada juga bentuk kekerasan seksual yang lain, yaitu pemasangan alat kontrasepsi, secara paksa kepada perempuan penyandang disabilitas, atau bahkan sterilisasi, baik itu di institusi seperti sekolah ataupun keluarga. Karena biasanya, pihak sekolah atau keluarga takut pada saat mereka mengalami kekerasan atau melakukan hubungan seksual, maka perempuan difabel ini akan hamil dan akan merepotkan keluarga maupun sekolah,” kata Nurul Saadah Andriani.
Menurut Nurul Saadah, keputusan itu sebenarnya keliru. Kontrasepsi tidak menghentikan kekerasan seksual, tetapi justru menyuburkannya karena pelaku tahu korban kemungkinan besar tidak akan hamil. Ironisnya, langkah ini kadang justru direkomendasikan sekolah di mana difabel menimba ilmu, untuk menghindari resiko kehamilan.
Nurul menambahkan, dari 17 kasus yang dilaporkan ke Sapda, hanya empat berlanjut ke proses hukum. Mayoritas keluarga korban belum siap karena malu. Di samping itu, ada kecenderungan pengakuan perempuan difabel, terutama kelompok disabilitas intelektual dan mental, tidak dipercaya baik oleh aparat maupun masyarakat.
DPR dan pemerintah saat ini sedang mambahas Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Kekerasan seksual terhadap perempuan difabel menjadi bagian dari RUU tersebut. Namun, kalangan organisasi perempuan dan difabel mengkritisi pasal 104 RUU tersebut. Pasal tersebut menyatakan: “Dalam hal pemasangan kontrasepsi terhadap orang dengan disabilitas mental yang dilakukan atas permintaan keluarga berdasarkan pertimbangan ahli untuk melindungi keberlangsungan kehidupan orang tersebut bukan merupakan tindak pidana”.
Dalam Workshop Perlindungan Hak Seksual dan Kesehatan Reproduksi Perempuan Penyandang Disabilitas yang diselenggarakan Sapda di Yogyakarta hari Selasa, persoalan ini dibahas secara mendalam. Sri Nurherwati dari Komnas Perempuan menyoroti peran ibu yang sangat besar dalam kasus semacam ini. Ibu dari perempuan penyandang disabilitas kemungkinan terbesar akan memegang kendali atas keputusan pemasangan alat kontrasepsi bagi anaknya.
Sementara itu, jika anaknya menjadi korban kekerasan seksual, ibu dari perempuan difabel juga akan menanggung beban cukup besar. Karena itulah, dalam proses pembahasan pasal 104 RUU PKS, Komnas Perempuan mendorong diberlakukannya syarat ketat sebelum pemasangan alat kontrasepsi, khususnya bagi perempuan difabel intelektual yang tidak dapat mengambil keputusan secara mandiri.
“Maka kita atur dalam usulan rumusan yang menyatakan bahwa keluarga boleh mengajukan pemasangan kontrasepsi tetapi ada syarat yang harus dipenuhi secara kumulatif. Syaratnya yaitu ada persetujuan korbannya, yaitu penyandang disabilitas itu. Kemudian ada saran dari ahli, dan punya tujuan untuk melindungi keberlangsungan kehidupan korban. Syarat ini kumulatif, harus ada semuanya,” kata Sri Nurherwati.
Komnas Perempuan melihat pasal 104 dalam RUU ini sebenarnya membuka tabir di lingkaran keluarga. Selama ini, disinyalir keluarga perempuan difabel melakukan pemaksaan pemasangan alat kontrasepsi. Dengan aturan hukum yang jelas, negara melindungi hak kesehatan reproduksi perempuan difabel. Pemaksaan bahkan oleh keluarganya sendiri tidak bisa dibenarkan. “Jangan sampai mengambil hak perempuan disabilitas atas nama kepentingan keluarga atau lainnya,” tambah Nurherwati.
Survei yang dilakukan Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia(HWDI) di Riau, Makassar dan Jakarta menemukan data bahwa 61 persen kasus kriminal dengan korban perempuan difabel adalah kasus perkosaan. Persentase kasus lain seperti pencabulan, pencurian, atau narkoba relatif kecil.
Maulani Rotinsulu, Ketua HWDI menyebut, fakta inilah yang membuat perempuan difabel Indonesia harus aktif berperan dalam pembahasan RUU PKS.
“Kami bertemu dengan anak-anak belasan tahun, maksimal 16 tahun, yang menggendong bayi ketika datang di diskusi terfokus yang kami selenggarakan. Ini yang membuat kita berpikir, sangat penting kita perempuan disabilitas atau penyandang disabilitas, ikut cawe-cawe dalam pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,” jelasnya.
Dalam pandangannya, para aktifis disabilitas dan perempuan menghendaki, perempuan difabel berwenang sepenuhnya atas tubuhnya sendiri. Karena itu, siapapun termasuk keluarganya tidak berhak melakukan pemaksaan pemasangan alat kontrasepsi.
Dalam kasus di mana perempuan difabel tidak memiliki kemampuan untuk memahami tindakan ini, misalnya karena faktor mental atau intelektual, keputusan harus diambil lewat rembug keluarga dan prosesnya dilegalkan pengadilan. [ns/ab]