Pihak berwenang Amerika Serikat (AS) pada Minggu (16/1) mengidentifikasi seorang pria berkebangsaan Inggris sebagai pelaku penyanderaan empat orang di sebuah sinagoge di Texas selama 10 jam pada Sabtu (15/1). Penyanderaan berakhir pada Sabtu (15/1) malam ketika tim SWAT mendobrak masuk dan menembak mati pelaku.
Para sandera yang merupakan jemaat kongregrasi Beth Israel dekat Fort Worth, Texas, berhasil dibebaskan dan tim strategis FBI menembak mati Malik Faisal Akram.
Presiden AS Joe Biden memuji "upaya berani" para petugas penegak hukum dan mengatakan antisemitisme yang diwakili serangan itu tidak akan ditolerir.
“Kita akan mengetahui lebih banyak dalam beberapa hari ke depan mengenai motif penyandera," kata Biden. "Tapi saya tegaskan, siapapun yang berniat menebarkan kebencian -- kami akan menolak antisemitisme dan menentang ekstremisme di negara ini."
FBI mengatakan dalam pernyataan bahwa tidak ada indikasi bahwa ada orang lain yang terlibat dalam serangan itu, tapi tidak mengungkap motif pelaku.
Kegiatan ibadah di sinagoge itu disiarkan langsung lewat Facebook saat Akram memasuki tempat ibadah tersebut. Ia sempat terdengar marah-marah dan menuntut pembebasan seorang ahli saraf Pakistan yang terbukti bersalah dalam kasus upaya pembunuhan beberapa tentara militer AS di Afghanistan.
Video yang dirilis oleh stasiun TV di Dallas, WFAA, memperlihatkan beberapa orang lari keluar dari sinagoge tersebut, lalu seorang pria bersenjata membuka pintu yang sama hanya beberapa detik kemudian, sebelum dia berbalik arah dan menutupnya. Tak berapa lama kemudian, terdengar beberapa suara tembakan, diikuti suara ledakan.
Dalam kunjungan ke sebuah bank makanan di Philadelphia pada Minggu (16/1) pagi, Biden mengatakan kepada para wartawan, "Yakinlah, kami fokus." Ia mengatakan Jaksa Agung Merrick Garland “fokus dan memastikan bahwa kita akan hadapi aksi-aksi semacam ini."
Menurut Associated Press, yang mengutip beberapa penyelidik, Akram menuntut pembebasan Aafia Siddiqui, seorang ahli saraf Pakistan yang diduga terkait al-Qaeda. Perempuan itu kini berada di dalam penjara federal. Akram juga mengatakan ia ingin berbicara dengan Siddiqui, menurut para penyelidik tersebut.
Siddiqui memperoleh gelar dari Universitas Brandeis dan Institut Teknologi Massachusetts sebelum divonis penjara 86 tahun pada 2010. Ia didakwa menyerang dan menembak beberapa perwira AS setelah ditahan di Afghanistan dua tahun sebelumnya.
Hukuman itu memicu kemarahan di Pakistan di kalangan para pemimpin politik dan pendukungnya. Mereka menganggap Siddiqui sebagai korban sistem keadilan kriminal AS.
Di tengah insiden penyanderaan, Marwa Elbially, pengacara Siddiqui, mengeluarkan pernyataan mengecam insiden itu. [vm/pp]