Tautan-tautan Akses

Pegiat Hak-hak Digital Khawatirkan Perkara Persidangan Mengenai Pengawasan dan TikTok di Pakistan


Seorang pria membuka aplikasi TikTok pada telepon genggamnya di Islamabad, Pakistan, pada 21 Juli 2020. (Foto: AP/Anjum Naveed)
Seorang pria membuka aplikasi TikTok pada telepon genggamnya di Islamabad, Pakistan, pada 21 Juli 2020. (Foto: AP/Anjum Naveed)

Dua persidangan yang digelar di pengadilan tinggi di Pakistan pada bulan Juli dipandang sebagai tanda semakin terkikisnya hak-hak digital di negara itu.

Di Islamabad, sebuah pengajuan perkara ke pengadilan tinggi mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan telekomunikasi telah diperintahkan untuk memasang sistem pengawasan massal. Dan di Peshawar, aplikasi media sosial asal China, TikTok, kepada pengadilan tinggi mengatakan bahwa mereka akan memberikan akses kepada Kementerian Komunikasi untuk menghapus konten yang dianggap "menista agama."

Para pendukung kebebasan berekspresi dan digital mengecam langkah tersebut. Haroon Baloch, seorang aktivis hak-hak digital di lembaga Bytes for All, mengatakan bahwa pengawasan massal tidak memiliki tempat dalam masyarakat yang demokratis.

"Pengawasan fisik atau online membutuhkan pembenaran hukum. Pemerintah harus memberi landasan hukum atas kebutuhan dan standar pengawasan online," katanya kepada VOA.

Kasus di Islamabad berfokus pada pengawasan terhadap warga negara yang panggilan teleponnya direkam dan kemudian dirilis di media sosial, demikian dilaporkan situs berita Dawn.

Di antara mereka yang terkena dampaknya adalah istri mantan pemimpin Imran Khan dan putra mantan ketua Mahkamah Agung. Keduanya telah mengajukan petisi ke pengadilan atas bocornya pembicaraan telepon mereka.

Dokumen yang diajukan ke pengadilan mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan telekomunikasi Pakistan diperintahkan untuk "membiayai, mengimpor, dan memasang" Sistem Manajemen Penyadapan yang Sah di pusat pengawasan untuk kepentingan badan-badan yang ditunjuk.

Di Pakistan, "badan-badan" yang disebut itu sering kali merujuk pada badan intelijen yang berpengaruh di negara tersebut.

Pengadilan mencatat bahwa perangkat lunak itu memberikan kemampuan untuk mengawasi konsumen mereka hingga 2% atau 4 juta warga negara "setiap saat."

Orang-orang akan kehilangan privasi mereka melalui pengawasan semacam itu, kata Aftab Alam, direktur eksekutif lembaga kajian yang berbasis di Islamabad, Institute for Research Advocacy and Development. "Pengawasan massal ini bertentangan dengan konstitusi dan hukum."

Nighat Dad, yang menjabat sebagai dewan pengawas Meta, mengatakan kepada Dawn bahwa "sangat mengherankan" bahwa perusahaan-perusahaan telekomunikasi Pakistan "tidak merasa perlu untuk bersikap transparan terhadap konsumen mereka sendiri."

Secara terpisah di Peshawar, TikTok mengatakan kepada pengadilan pada tanggal 1 Juli bahwa mereka akan memberikan akses ke Otoritas Telekomunikasi Pakistan.

Dalam kasus tersebut, seorang pemohon petisi meminta pelarangan TikTok di seluruh negeri karena mengizinkan apa yang ia gambarkan sebagai "unggahan yang tidak Islami."

Seperti Instagram, TikTok adalah platform yang populer di Pakistan di mana pengguna mengaksesnya untuk berbagai macam tampilan, hiburan, dan pemasaran.

Otoritas Telekomunikasi Pakistan tidak menanggapi permintaan VOA untuk memberikan komentar.

Dengan media tradisional yang dibatasi atau mencari jalan mengatasi larangan diam-diam mengenai apa yang boleh dan tidak boleh didiskusikan, media sosial menawarkan platform yang langka di negara itu untuk pandangan independen atau beragam.

Isu-isu yang dilarang, termasuk bagi jurnalis penyiaran, mencakup topik-topik yang bertentangan dengan apa pun yang dianggap sebagai "kepentingan nasional," serta orang hilang, kritik terhadap angkatan bersenjata, suara-suara yang berbeda pendapat, dan Gerakan Tahafuz Pashtun atau PTM. Setelah seorang juru bicara militer mengatakan pada tahun 2019 bahwa media harus menghindari liputan tentang PTM, sebagian besar stasiun lokal berhenti melaporkan gerakan tersebut dan aksi-aksi unjuk rasanya.

Namun, seiring dengan semakin banyaknya pemirsa yang beralih ke media sosial, Pakistan mengalami lebih banyak pembatasan pada platform-platform digital.

Otoritas Telekomunikasi Pakistan melarang X setelah para pengguna platform tersebut mempertanyakan transparansi pemilihan umum pada bulan Februari.

Larangan itu tidak diumumkan secara resmi, tetapi para pejabat mengatakan kepada pengadilan tinggi pada bulan April bahwa larangan tersebut diberlakukan "demi menegakkan keamanan nasional, menjaga ketertiban umum, dan menjaga integritas bangsa."

Platform media sosial X masih dapat diakses melalui VPN.

Aktivis hak-hak digital Farieha Aziz kepada VOA mengatakan bahwa Pakistan bergerak menuju "kontrol" yang lebih besar terhadap sektor teknologi. Akibatnya, katanya, "Kami harus menderita.” [my/uh]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG