Pejabat tinggi PBB untuk Timur Tengah pada Selasa (25/2) memperingatkan bahwa peluang tercapainya solusi dua negara bagi warga Israel dan Palestina semakin kecil.
“Masyarakat di wilayah ini dapat keluar dari periode ini dengan damai, aman dan bermartabat,” ujar Sigrid Kaag, koordinator khusus untuk proses perdamaian Timur Tengah, dalam sebuah pertemuan Dewan Keamanan PBB. “Namun, ini mungkin merupakan kesempatan terakhir kita untuk mencapai solusi dua negara.”
Ia kemudian mengatakan kepada para wartawan bahwa dampak dari konflik, situasi di Gaza, perluasan permukiman Israel dan ancaman aneksasi Tepi Barat semakin menjauhkan solusi dua negara.
“Jadi, juga merupakan niat saya untuk mengingatkan dewan bahwa mengeluarkan pernyataan adalah satu hal, tetapi kita membutuhkan tindakan,” katanya. “Dan solusi dua negara sebagai solusi yang layak, secara geografis, semakin redup di depan mata kita. Dan kata-kata saja tidak akan menyelesaikannya. Dibutuhkan keterlibatan politik dan diplomasi yang aktif.”
Di Dewan Keamanan, Kaag mengungkapkan kekhawatirannya tentang perluasan operasi militer Israel di Tepi Barat yang dimulai pada tanggal 21 Januari, khususnya di wilayah Jenin, Tubas dan Tulkarm.
“Pasukan Israel telah mengerahkan serangan udara dan senjata berat lainnya, sementara militan Palestina telah menggunakan bom rakitan dan melakukan serangan penembakan,” katanya. “Hal ini terjadi bersamaan dengan berlanjutnya kekerasan dan intimidasi oleh pemukim Israel terhadap warga Palestina dan serangan warga Palestina terhadap warga Israel.”
Gencatan senjata Gaza
Mengenai Gaza, Kaag mengatakan bahwa gencatan senjata tiga tahap dan kesepakatan pembebasan sandera harus dilaksanakan, dan kembalinya pertempuran harus dihindari dengan cara apa pun.
“Saya menyerukan kepada kedua belah pihak untuk sepenuhnya menghormati komitmen mereka terhadap kesepakatan gencatan senjata dan menyelesaikan negosiasi untuk tahap kedua,” katanya. “Saya memuji para mediator Mesir, Qatar, dan Amerika Serikat atas kerja keras mereka dalam mengamankan tahap pertama dan mengupayakan tahap kedua.”
Penjabat duta besar AS mengatakan bahwa pemerintahan Trump terus bekerja untuk memastikan pelaksanaan sepenuhnya dari kesepakatan tersebut.
“Hamas masih menyandera 63 orang, termasuk warga New Jersey, Idan Alexander, dan jenazah empat warga AS yang dibunuh oleh Hamas di Gaza,” ujar Duta Besar Dorothy Shea mengenai Hamas yang ditetapkan AS sebagai kelompok teror.
“Selama Hamas berdiri sebagai kekuatan yang dapat memerintah, atau sebagai kekuatan yang dapat mengatur, atau sebagai kekuatan yang dapat mengancam dengan menggunakan kekerasan, perdamaian menjadi tidak mungkin,” tambahnya. “Hamas harus dilenyapkan. Harus diberantas.”
Duta Besar Israel Danny Danon setuju, dan mengatakan bahwa Israel akan terus bertindak.
“Kami tidak akan gentar. Kami akan membasmi Hamas,” kata Danon kepada para anggota dewan. “Percayalah ketika saya mengatakannya. Kami akan membawa pulang warga kami, dan kami akan memastikan keamanan dan masa depan Israel.”
Ketika ditanya lebih lanjut apakah itu termasuk melanjutkan pertempuran, Danon mengatakan kepada para wartawan bahwa itu adalah salah satu pilihan, tetapi pilihan-pilihan lain juga sedang dibahas. Ia merujuk pada sebuah contoh kesepakatan yang membuat para pejuang Organisasi Pembebasan Palestina meninggalkan Lebanon menuju Tunisia, setelah invasi Israel ke Lebanon pada tahun 1982 untuk mengejar mereka.
“Namun tujuan akhirnya adalah tidak ada Hamas di Gaza,” katanya.
Utusan Palestina Riyad Mansour menyatakan keprihatinannya bahwa gencatan senjata tahap pertama akan berakhir dalam beberapa hari lagi tanpa adanya kesepakatan yang pasti mengenai tahap kedua.
“Bagi AS, akhir dari perjanjian ini dan pelaksanaannya adalah tentang sandera. Namun bagi Israel, apakah demikian ?” kata Mansour kepada Dewan Keamanan.
“Beberapa hari ke depan akan kembali menguji prioritas mereka yang sebenarnya. Apakah mereka akan menghancurkan gencatan senjata dan melanjutkan pertempuran? Atau akankah mereka - akankah kalian semua, akankah kita semua - membuat gencatan senjata menjadi permanen untuk menyetkan nyawa?”
Permohonan sandera Israel
Noa Argamani, adalah seorang perempuan muda Israel yang diculik dari festival musik Nova pada 7 Oktober 2023, dan disandera di Gaza selama delapan bulan oleh Hamas. Ia kemudian diselamatkan oleh militer Israel dan mengimbau agar para pihak menerapkan sepenuhnya tiga tahap kesepakatan gencatan senjata yang rapuh itu agar seluruh sandera yang masih ada, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, dapat dibebaskan.
Dia mengatakan bahwa rekannya, Avinatan Or, yang juga ditawan, tidak memenuhi syarat untuk dibebaskan sampai tahap kedua dari kesepakatan tersebut.
“Bekerja keraslah untuk membawa semua orang pulang sekarang,” kata Argamani kepada Dewan Keamanan, yang merupakan pertama kalinya seorang mantan sandera 7 Oktober secara langsung berpidato di hadapan dewan.
Dia mengatakan bahwa para sandera yang tersisa “berada di neraka” dan “berhak untuk pulang”
Di bawah ketentuan kesepakatan yang disepakati pada pertengahan Januari, tahap pertama dari 42 hari akan berakhir pada Sabtu (1/3) ini. Laporan berita lokal mengatakan bahwa 30 sandera Israel dan asing telah dibebaskan, ditambah lagi dengan jenazah empat tawanan yang dibunuh, termasuk dua anak-anak. Ratusan tahanan Palestina juga telah dibebaskan. Militer Israel telah mundur ke tepi Gaza, dan warga Palestina telah mulai kembali ke rumah mereka di bagian utara Jalur Gaza, yang sebelumnya terlarang.
Fase kedua diharapkan akan membebaskan sandera pria yang tersisa, termasuk tentara, dengan imbalan lebih banyak tawanan Palestina. Dan pada tahap ketiga, mayat-mayat sandera Israel yang tewas diharapkan akan ditukar dengan para pejuang Palestina yang tewas.
Argamani memperingatkan bahwa “setiap detik dalam tawanan adalah berbahaya.”
“Inilah sebabnya mengapa sangat penting bagi kita untuk mengakhiri tragedi mengerikan ini. Tanpa tindakan segera, lebih banyak lagi orang tak berdosa yang akan terbunuh,” katanya. [my/uh]
Forum