PBB telah memperingatkan bahwa larangan “tidak sah” Taliban terhadap staf perempuannya di Afghanistan dapat mendorong badan dunia itu untuk menghentikan operasinya di negara tersebut.
Misi Bantuan PBB di Afghanistan, UNAMA, mengeluarkan peringatan itu Selasa (10/4), beberapa hari setelah penguasa fundamentalis melarang karyawan perempuan Afghanistan bekerja untuk misi itu di negara miskin yang menderita akibat perang bertahun-tahun dan kekeringan berkepanjangan.
Pernyataan itu mengulangi kecaman “keras” PBB terhadap restriksi itu, dengan mengatakan bahwa organisasi dunia itu tidak dapat memenuhinya karena hal itu bertentangan dengan hukum internasional dan Piagam PBB.
“Melalui larangan ini, otoritas defacto Taliban ingin memaksa PBB untuk membuat pilihan mengerikan antara bertahan dan memberikan dukungan bagi rakyat Afghanistan, atau menegakkan norma-norma dan prinsip yang wajib kami junjung,” tegas UNAMA.
Kepala misi itu, Roza Otunbayeva, telah memulai peninjauan terhadap operasi UNAMA di negara itu yang akan berlangsung hingga 5 Mei, kata pernyataan itu.
“Personel nasional PBB, lelaki dan perempuan telah diinstruksikan agar tidak datang bekerja di kantor-kantor PBB, dengan perkecualian yang sangat terbatas dan diperhitungkan untuk tugas-tugas penting,” jelasnya.
Selama periode peninjauan, kantor PBB di Kabul akan melakukan konsultasi yang diperlukan, melakukan penyesuaian operasional yang diwajibkan, dan mempercepat rencana darurat untuk semua kemungkinan hasilnya, kata pernyataan itu.
“Harus jelas bahwa setiap konsekuensi negatif dari krisis ini bagi rakyat Afghanistan akan menjadi tanggung jawab otoritas defacto,” kata UNAMA memperingatkan.
Taliban belum berkomentar secara terbuka mengenai pembatasan karyawan perempuan sejak peraturan itu mulai berlaku sejak 4 April.
PBB memiliki hampir 4.000 staf di Afghanistan, sekitar 3.300 di antaranya adalah warga negara Afghanistan. Di antara mereka terdapat sekitar 400 perempuan Afghanistan dan 200 staf perempuan internasional.
Larangan terhadap staf perempuan PBB ini merupakan yang terbaru dari serangkaian pembatasan yang diberlakukan Taliban terhadap perempuan Afghanistan, sejak kelompok itu merebut kembali kekuasaan di negara itu pada Agustus 2021.
Pembatasan itu berdampak serius terhadap partisipasi perempuan dewasa dan remaja dalam kehidupan publik dan sehari-hari. Perempuan Afghanistan telah dilarang mengakses pendidikan tinggi dan banyak pekerjaan di pemerintahan serta akses publik. Remaja perempuan juga tidak diizinkan bersekolah setelah kelas enam.
Pada 24 Desember 2022, Taliban melarang perempuan Afghanistan bekerja dengan kelompok-kelompok bantuan dalam dan luar negeri, tetapi ketika itu tidak termasuk PBB. Beberapa LSM internasional menghentikan pekerjaan mereka setelah keputusan tersebut.
Otoritas defacto Afghanistan telah mengabaikan seruan untuk mencabut pembatasan itu dan mengesampingkan kritik terhadap pemerintahan mereka, dengan mengatakan hal tersebut sesuai dengan budaya Afghanistan dan hukum Islam.
Komunitas global telah menolak mengakui keabsahan pemerintahan Taliban yang hanya terdiri dari kaum lelaki, terutama karena keprihatinan mengenai masalah HAM dan perlakuan terhadap perempuan.
AS dan masyarakat internasional secara umum mengaitkan masalah legitimasi dengan pembatalan pembatasan terhadap kaum perempuan dan penghormatan terhadap HAM seluruh warga Afghanistan.
John Kirby, koordinator dewan keamanan nasional AS untuk komunikasi strategis, menegaskan kepada wartawan pekan lalu bahwa Washington tidak mengakui Taliban sebagai pemerintah resmi di Afghanistan.
“Jika mereka ingin diakui – setidaknya oleh AS – jika mereka ingin dianggap sah, maka mereka perlu memenuhi janji-janji yang mereka buat mengenai bagaimana mereka akan memerintah negara tersebut dan bagaimana mereka akan memperlakukan rakyat mereka sendiri, termasuk perempuan tua dan muda,” kata Kirby kepada wartawan pekan lalu.
Afghanistan adalah salah satu negara dengan kondisi darurat terbesar di dunia. PBB mengatakan 28,3 juta orang, dua per tiga populasinya, memerlukan bantuan kemanusiaan.
Enam juta orang berada di ambang kelaparan. Dari permohonan bantuan kemanusiaan $4,6 miliar untuk tahun ini, baru sedikit di atas $200 juta saja yang diberikan. [uh/ab]
Forum