Para pasien, kebanyakan lansia, berbaring di tandu di lorong-lorong dan menerima oksigen sewaktu duduk di kursi roda, sementara kasus COVID-19 melonjak di Ibu Kota China, Beijing.
Rumah sakit Chuiyangliu di bagian timur kota itu dipadati pasien yang baru tiba pada hari Kamis (5/1). Menjelang tengah hari, tempat tidur di sana sudah penuh, sementara ambulans terus datang membawa pasien.
Perawat dan dokter bergegas mencatat informasi dan mendahulukan kasus-kasus paling mendesak.
Lonjakan orang sakit yang membutuhkan rawat inap di rumah sakit itu menyusul kebijakan China pada bulan lalu yang meninggalkan restriksinya yang paling ketat terkait pandemi setelah hampir tiga tahun memberlakukan lockdown, larangan perjalanan dan penutupan sekolah. Berbagai pembatasan itu sendiri sangat membebani ekonomi China dan mendorong protes di jalan-jalan yang tidak terlihat sejak akhir 1980-an.
Ini juga terjadi sewaktu Uni Eropa pada hari Rabu (4/1) “mendorong kuat” negara-negara anggotanya untuk memberlakukan tes COVID-19 sebelum keberangkatan bagi penumpang dari China.
Selama sepekan terakhir, negara-negara Uni Eropa telah bereaksi dengan berbagai restriksi terhadap para pengunjung dari China, mengabaikan komitmen sebelumnya untuk bertindak secara terpadu.
Italia, di mana pandemi pertama kali menimbulkan banyak korban di Eropa pada awal 2020, adalah anggota Uni Eropa pertama yang mewajibkan tes virus corona bagi penumpang pesawat udara yang datang dari China. Prancis dan Spanyol segera menyusul dengan aturan mereka sendiri. Tindakan ini menyusul pemberlakuan persyaratan oleh AS agar semua penumpang dari China menunjukkan hasil tes negatif yang diperoleh 48 jam sebelum keberangkatan.
China telah memperingatkan “langkah balasan” jika kebijakan semacam itu diberlakukan di seluruh Uni Eropa.
Dirjen Organisasi Kesehatan Dunia WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus pada Rabu (4/1) mengatakan ia prihatin mengenai kurangnya data wabah dari pemerintah China.
China telah berusaha untuk membuat lebih banyak lagi populasi lansianya yang divaksinasi. Namun, upaya tersebut terhambat oleh skandal masa lalu yang melibatkan obat palsu dan peringatan sebelumnya mengenai efek samping vaksin di kalangan para lansia.
Vaksin yang dikembangkan di dalam negeri China juga dianggap kurang efektif dibandingkan dengan vaksin mRNA yang digunakan di tempat lain. [uh/ab]
Forum