Sepasang suami istri dari Amerika Serikat (AS) menjadi bagian dari tiga misionaris yang ditembak dan tewas oleh geng di depan sebuah gereja di ibu kota Haiti. Negara tersebut tengah dilanda kekerasan ekstrem selama berbulan-bulan, dengan serangkaian serangan mematikan di rumah sakit, penjara, dan gedung pemerintah.
Missions in Haiti (Misi di Haiti), sebuah organisasi nirlaba berbasis di Oklahoma yang didirikan pada 2000, mengatakan Davy dan Natalie Lloyd serta orang ketiga dibunuh di Port-au-Prince oleh orang-orang bersenjata pada Kamis (23/5) malam.
Korban ketiga diidentifikasi oleh media AS sebagai Jude Montis, Direktur Missions in Haiti.
“Davy, Natalie, dan Jude ditembak dan dibunuh oleh geng tersebut sekitar pukul 21.00 ini,” kata Misi di Haiti di halaman Facebook-nya pada Jumat (24/5). "Kami semua berduka"
Menurut juru bicara polisi, "para bandit memasuki rumah dan menjarahnya sebelum membunuh para misionaris."
Investigasi sedang dilakukan, kata pejabat itu.
Dalam kiriman Facebook sebelumnya, lembaga Misi di Haiti mengatakan bahwa para misionaris disergap oleh sekelompok orang yang menggunakan tiga kendaraan.
"Davy dibawa ke rumah dalam keadaan terikat dan dipukuli," katanya. "Geng itu kemudian mengambil truk kami dan memuat semua yang mereka inginkan lalu pergi."
Anggota geng lain kemudian tiba dan “menyerang membabi-buta” tambah postingan tersebut.
Menanggapi kematian tersebut, Gedung Putih menyerukan pengerahan cepat pasukan multinasional pimpinan Kenya di Haiti untuk mengatasi kekerasan geng yang merajalela.
“Situasi keamanan di Haiti tidak bisa menunggu,” kata juru bicara Dewan Keamanan Nasional. Ia menekankan bahwa Presiden Joe Biden berjanji untuk mendukung “percepatan pengerahan” pasukan dalam pembicaraan dengan presiden Kenya pada Kamis.
“Hati kami tertuju kepada keluarga korban yang tewas karena mereka mengalami kesedihan yang tak terbayangkan,” tambah juru bicara tersebut.
Juru bicara Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres juga menyatakan simpati, menggambarkan insiden tersebut sebagai "contoh lain dari kekerasan yang tidak patut terjadi di Haiti."
Bandara utama sebagian dibuka kembali minggu ini setelah ditutup sejak awal Maret, saat geng-geng bersenjata yang kuat yang mengendalikan sebagian besar negara tersebut melancarkan serangan terkoordinasi yang mereka klaim bertujuan untuk menggulingkan Perdana Menteri Ariel Henry.
Henry telah mengundurkan diri. Ia tidak dapat kembali ke rumah saat berada di luar negeri pada saat penyerangan terjadi, karena aktivitas geng tersebut.
Haiti telah dilanda kemiskinan, bencana alam, ketidakstabilan politik, dan kekerasan selama beberapa dekade. Negara tersebut tidak memiliki presiden dan parlemen sejak insiden pembunuhan Jovenel Moise pada 2021.
Pemilu terakhir diadakan pada 2016, dan dewan pemerintahan transisi yang baru sedang berusaha memperkuat otoritasnya. Namun, situasinya sulit, dengan kekurangan makanan, puluhan ribu orang mengungsi dari rumah mereka, dan sistem layanan kesehatan berada di ambang kehancuran. [ah/ft]
Forum