Paparan partikel halus dalam polusi udara bisa menjadi faktor lain yang mempengaruhi kualitas sperma dan kesuburannya, menurut para peneliti di Taiwan.
Walaupun efek klinis mungkin kecil, penemuan ini bisa jadi penting untuk kesehatan masyarakat karena paparan polusi di seluruh dunia, menurut para peneliti dalam tulisan yang diterbitkan di BMJ Occupational and Environmental Medicine.
"partikel-partikel itu mungkin mengandung bahan kimia beracun seperti logam berat dan hidrokarbon aromatik polisiklik yang menunjukkan dampak berbahaya untuk kualitas sperma pada saat dilakukan penelitian di laboratorium dan pada binatang, " kata pengarang utaman, Xiang Qian Lao, mengatakan kepada Reuters Health melalui email.
"Bentuk dan ukuran sperma adalah parameter penting untuk mengukur kesuburan. Jumlah/persentase rendah sperma bisa mengakibatkan infertilitas," kata Lao, seorang peneliti pada Jockey Club School of Public Health and Primary Care pada The Chinese University of Hong Kong. .
Meski paparan bahan kimia lingkungan telah dianggap sebagai penyebab potensial infertilitas, sedikit sekali pengetahuan mengenai dampak dari polusi udara, menurut tim kajian tersebut.
Para peneliti melihat paparan jangka pendek dan jangka panjang dari partikel halus polusi udara yang dikenal dengan PM 2.5, yang berukuran 2.5 mikron atau kurang dari 30 kali lebih kecil dari diameter rambut manusia. Partikel halus ini bisa masuk ke dalam paru-paru dan masuk ke dalam aliran darah.
Partikel polusi seperti ini bisa ditemukan di luar dan di dalam ruangan. Biasanya terkandung dalam asap knalpot kendaraan, kayu bakar, batubara atau minyak bakar dan emisi dari pembangkit listrik dan industri lainnya.
Kota-kota di China dan India berusaha memerangi tingkat polusi PM 2.5, jauh di atas ambang batas aman yang diizinkan oleh World Health Organization (WHO).
Tim Lao meneliti catatan kesehatan dan kuesioner kesehatan dari 6.500 laki-laki Taiwan berumur 15-19 tahun, yang berpartisipasi dalam program pemeriksaan antara 2001 dan 2004.
Sampel semen diambil dan kualitas sperma pria dinilai dari jumlah total sperma, ukuran, bentuk dan kemampuan untuk bergerak.
Temuan utama dari studi ini adalah penurunan signifikan dari persentase sperma yang biasanya terbentuk dengan kenaikan polusi udara (PM 2.5), namun persentase sperma yang secara morfologi normal, masih lebih tinggi, kata Shanna Swann, seorang peneliti dari Environmental Medicine and Public Health Department dari Icahn School of Medicine, di Mount Sinai, di New York.
Perubahan dalam konsentrasi sperma susah untuk diterjemahkan, kata Swann, yang tidak terlibat dalam studi ini. Salah satunya karena rata-rata konsentrasi sperma di kalangan peserta sangat rendah.
"Kekuatan dari studi itu adalah ini studi yang besar, menggunakan estimasi polusi udara yang canggih dan metode analisis semen WHO," kata dia melalui email.
Kualitas semen sangat berhubungan dengan fertilitas. Pria tanpa atau dengan sedikit sperma yang bergerak, tidak bisa membuahi telur, kata dia. [fw/au]