Organisasi US-Pinoys for Good Governance (USP4GG) mengusulkan pembentukan zona pariwisata di perairan tersebut yang diklaim – baik seluruhnya maupun sebagian – oleh China, Vietnam, Taiwan, Filipina, Malaysia dan Brunei.
Eric Lachica dari organisasi itu mengatakan zona pariwisata adalah cara terbaik mengatasi klaim-klaim yang tumpang tindih itu di mana masing-masing pihak memiliki proyek pembangunan di sana.
“Mari lindungi semua kepentingan kita. China punya sembilan proyek, Filipina punya sembilan, Malaysia punya lima, Vietnam memiliki 48. Jadi saya pikir untuk melindungi kepemilikan mereka di sana, ini adalah solusi terbaik. Dengan solusi ini, mereka tidak terlalu dipusingkan lagi secara militer sekaligus meningkatkan daya perekonomian mereka,” kata Lachica.
Saat ini, setidaknya tiga pihak yaitu Malaysia, Vietnam dan China mengoperasikan daerah tujuan wisata di kepulauan Spratly dan pulau-pulau lain yang juga disengketakan di Laut China Selatan.
Lachica mengatakan gagasan tersebut muncul seusai bertemu Eugenio Bito-onon, walikota sejumlah pulau yang dikuasai Filipina di Spratly. Bagi orang Filipina, kepulauan itu disebut dengan Kalayaan.
Bito-onon hari Minggu (23/8) mengatakan kepada wartawan di Manila ia sudah lama memiliki gagasan “pariwisata demi perdamaian” ini.
“Tetapi dalam kapasitas saya sebagai pemerintah lokal, akan butuh waktu lama untuk menyiapkan diri sebelum kami bisa nyaman menyambut turis disana. Hal itu juga akan sulit tanpa kebijakan di tingkat nasional,” ujarnya.
Lachica mengatakan skenario yang ideal adalah Senat Filipina mengesahkan resolusi yang didukung presiden sehingga Filipina bisa mengajukan gagasan itu kepada China dan ke-10 negara anggota ASEAN.
Kata Bito-onon, ia membayangkan rute turis dari pulau utama Thitu ke dua pulau yang lebih kecil didekatnya dan juga dikuasai Filipina. Lanjutnya, sebuah tempat peristirahatan bisa dibangun di Thitu bagi para turis dari pulau-pulau lain di perairan itu jika terjadi cuaca buruk. (th/ii)