Beberapa pemenang Hadiah Nobel Perdamaian, Kamis (28/5), menyerukan diakhirinya penganiayaan terhadap kelompok Muslim Rohingya di Myanmar, menggambarkan situasi itu sebagai "tidak kurang dari genosida," dan meminta bantuan internasional untuk membantu kelompok itu di negara bagian Rakhine.
Desakan itu muncul pada akhir konferensi tiga hari di ibukota Norwegia tempat para peserta menyaksikan pernyataan-pernyataan lewat video dari para pemenang Nobel tersebut, termasuk mantan Uskup Agung Afrika Selatan Desmond Tutu, aktivis hak asasi manusia Iran Shirin Ebadi, dan mantan Presiden Timor Leste Jose Ramos-Horta.
"Apa yang dihadapi orang-orang Rohingya adalah kasus genosida, dimana seluruh komunitas etnis secara sistematik dihilangkan oleh pemerintah Myanmar," menurut pernyataan akhir dalam konferensi tersebut.
Diadakan di Institut Nobel di Oslo, konferensi tersebut mendesak komunitas global "untuk mengambil semua langkah yang mungkin dilakukan untuk menekan" pemerintah Myanmar untuk "segera mengakhiri kebijakan-kebijakan dan praktik-praktik genosida."
Filantropis George Soros, yang lari dari Hungaria yang dikuasai Nazi, mengatakan ada paralel-paralel yang sangat mengkhawatirkan antara penderitaan Rohingya dan pembunuhan massal oleh Nazi.
Ikon pro-demokrasi Aung San Suu Kyi tidak diundang dalam acara tersebut, yang diselenggarakan oleh Komite Burma Norwegia. Saat ia menjadi tahanan rumah selama 15 tahun, Suu Kyi mengundang rasa kagum dari seluruh dunia karena pidatonya yang berapi-api dan kritikan tajam terhadap rezim militer yang menguasai Myanmar.
Para pengkritik mengatakan ia berhati-hati memilih isu mana yang ia tentang, sebagian karena ia memiliki ambisi menjadi presiden.
Dalam beberapa minggu terakhir, ribuan orang Rohingya telah melarikan diri dari penganiayaan tersebut dan mendarat di pantai-pantai Indonesia, Malaysia dan Thailand, seringkali ditelantarkan oleh para penyelundup manusia atau dibebaskan setelah keluarga mereka membayar tebusan. Diperkirakan ada sekitar 1,3 juta Muslim Rohingya.