Para anggota dua pemerintahan Libya yang bersaingan diperkirakan akan menandatangani sebuah kesepakatan perdamaian hari Kamis (17/12), meskipun ada keprihatinan mengenai legitimasi pakta yang banyak disengketakan itu.
Kesepakatan yang ditengahi PBB dan akan ditandatangani pada sebuah upacara di Maroko itu merupakan usaha untuk mengakhiri ketidakstabilan yang telah melanda Libya sejak penggulingan pemimpin yang lama berkuasa, Moammar Gaddafi, pada 2011.
Kesepakatan itu menyerukan pembentukan pemerintah persatuan yang baru dalam waktu 40 hari, dengan para anggotanya yang berasal dari pemerintah yang diakui secara internasional di Tobruk dan pemerintah yang didukung kelompok Islamis di Tripoli.
Meski dengan partsipasi dari kedua pihak, tidak jelas berapa banyak orang yang mendukung kesepakatan itu dan akan menandatanganinya.
Selasa lalu, para pemimpin dua parlemen yang bersaingan, Aguila Saleh dan Nuri Abu Sahmain, bertemu untuk pertama kalinya sejak kedua pihak mendirikan pemerintah yang bersaingan di Tripoli dan Tobruk.
Kedua pemimpin itu mengatakan, siapapun yang menandatangani kesepakatan perdamaian itu hanya akan mewakili diri sendiri. Pernyataan tersebut menimbulkan pertanyaan bagaimana posisi faksi-faksi lainnya yang berperang di Libya dalam kesepakatan itu.
PBB, Uni Eropa, Uni Afrika, Liga Arab dan lebih dari 12 negara mengeluarkan sebuah pernyataan, Minggu, yang mendukung usaha perdamaian itu dan menyambut rencana yang mendorong pihak-pihak di Libya untuk menandatanganinya.
Pernyataan itu dikeluarkan setelah pertemuan tingkat menteri di Italia, dan mencakup komitmen terhadap kedaulatan Libya, janji untuk mendukung pemerintah persatuan dan seruan untuk segera memberlakukan gencatan senjata. [ab]