Sejumlah mahasiswa baru Universitas Indonesia (UI) membenarkan adanya kewajiban untuk menandatangani dokumen Pakta Integritas dengan materai melalui Panitia Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PPKMB) 2020. Hal tersebut disampaikan sejumlah mahasiswa dari beberapa jurusan dalam sebuah diskusi daring pada Sabtu (12/9).
Mereka menuturkan kewajiban tersebut disampaikan pada 5 September dan harus sudah dikumpulkan pada 6 September. Beberapa dari mahasiswa pada mulanya tidak mempersoalkan Pakta Integritas tersebut karena masih dalam kondisi senang diterima menjadi mahasiswa UI. Belakangan mereka mempertanyakan dokumen tersebut karena kurang penjelasan dari kampus soal ini.
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI Fajar Adi Nugroho mengatakan terdapat sejumlah poin bermasalah dalam Pakta Integritas tersebut. Antara lain poin tentang larangan mahasiswa terlibat dalam politik praktis.
"Dan ini merupakan norma baru di luar aturan internal UI yang di dalamnya disebutkan organisasi kemahasiswaan bebas dari intervensi partai politik," jelas Fajar Adi Nugroho dalam diskusi daring pada Sabtu (12/9).
Fajar menambahkan batasan tentang larangan politik praktis juga tidak jelas dan mendiskriminasi orientasi politik mahasiswa. Ini dapat berakibat pihak universitas bisa sepihak menentukan kegiatan yang dimaksud politik praktis atau kegiatan yang mengganggu akademik dan bernegara. Namun, di sisi lain yang akan mendapat sanksi dari Pakta Integritas adalah mahasiswa.
Selain itu, Fajar juga menyoroti poin soal harapan kepada mahasiswa UI untuk mempersiapkan diri apabila diminta mewakili universitas dan negara Indonesia dalam berbagai program akademik dan nonakademik. Namun, universitas tidak memberikan jaminan keamanan dan kesehatan seperti yang tertuang dalam Pakta Integritas.
"Ini menjadi pertanyaan, sebenarnya tujuan Pakta Integritas ini untuk apa. Apakah untuk penguatan komitmen atau pengekangan lebih lanjut karena melihat mahasiswa sebagai ancaman," tambah Fajar.
Menurut BEM UI, pihak universitas sempat mengklarifikasi bahwa Pakta Integritas tersebut belum final dan ada kekeliruan dalam penyebaran dokumen tersebut. Kata BEM UI, pihak universitas kemudian mengedarkan 'surat pernyataan' sebagai pengganti Pakta Integritas, yang isinya juga tidak jauh berbeda.
Sementara itu pengamat komunikasi dan politik Nyarwi Ahmad menilai ada sejumlah poin positif dalam Pakta Integritas tersebut, termasuk soal larangan tindakan kriminal seperti mengedarkan narkoba dan melakukan kekerasan seksual.
Namun, katanya, Pakta Integritas pada umumnya dibuat oleh kedua pihak yang setara dan memiliki pengetahuan yang sama. Karena itu, Nyarwi menyarankan universitas untuk berdialog dengan mahasiswa untuk membahas Pakta Integritas tersebut.
"Kalau kita lihat mahasiswa baru tidak punya itu semua. Tidak punya pengetahuan yang sama, walaupun sama-sama civitas akademik. Tapi itu tidak setara dengan universitas atau pengelola pendidikan," jelas Nyarwi Ahmad kepada VOA, Selasa (15/9).
Nyarwi juga menyoroti sejumlah pasal yang multitafsir dalam Pakta Integritas tersebut seperti politik praktis dan larangan kegiatan kaderisasi. Menurutnya, hal ini dapat merampas kebebasan mahasiswa pada masa mendatang.
Kepala Biro Humas UI Amelita Lusia menjelaskan setiap dokumen UI harus dikeluarkan melalui sistem informasi yang resmi untuk menjamin keasliannya. Kata dia, dokumen berjudul "Pakta Integritas" yang beredar di kalangan mahasiswa baru bukan dokumen resmi yang telah menjadi keputusan pimpinan UI. Kata dia, pimpinan UI menyayangkan penyebaran dokumen tersebut yang telah menimbulkan reaksi di masyarakat.
"Perlu kami pertegas bahwa UI tidak pernah menerapkan Pakta Integritas. Dalam proses penerimaan mahasiswa baru di UI, pada masa pra-registrasi, mereka sudah mengisi beberapa dokumen resmi terkait persyaratan yang diperlukan," jelas Amelita Lusia kepada VOA, Selasa (15/9).
Amelita meminta mahasiswa merujuk kepada Pedoman Kehidupan Kampus UI terkait definisi dan batasan tentang politik praktis yang dipertanyakan mereka. [sm/ab]