Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Mendawai Seberang, Arut Selatan, Kabupaten Kotawaringin Barat, berdampak pada orangutan. Pada Kamis, 19 September 2019 lalu, tim Wildlife Rescue Unit SKW II BKSDA Kalimantan Tengah bersama Orangutan Foundation International (OFI) melakukan upaya penyelamatan satu individu orangutan di sana.
Dalam keterangan resmi di laman Direktorat Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dijelaskan bahwa orangutan jantan itu memiliki berat 80 Kg. Dia diselamatkan dari pepohonan yang tersisa dari kebakaran di kawasan KM 15, Pangkalan Bun. Abu sisa kebakaran dan bau asap menyertai proses penyelamatan orangutan yang diperkirakan berumur 30 tahun tersebut. Setelah bekerja keras selama empat jam, akhirnya tim berhasil mengevakuasi orangutan dari lokasi kebakaran.
Orangutan itu kemudian dibawa ke Care Centre and Quarantine (OCCQ) Pasir Panjang untuk pemeriksaan kesehatan. Setelah dinyatakan sehat, orangutan tersebut di translokasi ke Taman Nasional Tanjung Puting pada 21 September 2019.
Dalam pernyataan kepada media di Yogyakarta pekan lalu, Dirjen KSDAE, Wiratno hanya bisa berharap kebakaran hutan dan lahan tahun ini tidak berdampak luas pada warga dan satwa, khususnya orangutan.
"Kebakaran hutan itu menjadi perhatian. Staf kami terus melakukan pemantauan," ujar Wiratno yang hadir dalam Simposium dan Kongres Primata Indonesia ke-5 di Yogyakarta.
Primata Rentan Karhutla
Seperti juga manusia, orang utan rentan terhadap asap akibat kebakaran hutan dan lahan. Begitu pula dengan primata lain yang memiliki habitat asli di Sumatera dan Kalimantan. Perhimpunan Ahli dan Pemerhati Primata Indonesia (Perhappi) mendesak perhatian lebih besar terhadap kondisi ini. Ketua Perhappi, Didik Prasetyo ketika dihubungi VOA mengatakan, pihaknya telah memberi masukan ke BNPB agar juga fokus pada habitat primata. Tentu saja, perhatian juga tetap harus diberikan ke wilayah hunian masyarakat yang terdampak bencana ini.
“Kita punya beberapa daerah yang sangat terancam karhutla ini. Misalnya yang di Tuanan itu. Kemarin kita beberapa kali sudah kontak BNPB untuk menginformasikan kawasan ini. Stasiun ini sudah lama berdiri dan kali ini kebakarannya lebih masif dari pada tahun 2015. Kemarin sudah dikirim waterboombing ke sana,” kata Didik.
Tuanan yang disebut Didik adalah Stasiun Penelitian Tuanan di Kapuas, Kalimantan Tengah. Stasiun Penelitian ini dikelola Yayasan Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF) Universitas Nasional (Unas), dan Rutgers University. Didik adalah dosen di Fakultas Biologi Unas sekaligus peneliti di Pusat Riset Primata Unas.
Didik memaparkan, orangutan yang sedang menjalani proses rahabilitasi di pusat-pusat rehabilitasi di Kalimantan banyak yang terserang Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA). Kondisi ini tentu saja dapat menggangu proses rehabilitasi, sebab kesehatan merupakan salah satu bagian penting dari proses ini.
Menurut catatan Perhappi, karhutla juga menyebabkan dua orangutan di Ketapang, Kalimantan Barat harus dievakuasi ke pusat rehabilitasi karena habitatnya terbakar. Sementara satu ekor bekantan, mati tertabrak kendaraan bermotor di Kalimantan Selatan, saat berusaha menyelamatkan diri dari habitatnya yang terbakar. Data itu hanya bagian kecil dari dampak karhutla terhadap primata yang terus dicatat.
Pemeriksaan kesehatan terhadap primata di habitat liar tidak mungkin dilakukan, meski disadari dampak Karhutla ke mereka cukup besar. Sejauh ini, kata Didik, pelestari primata berkonsentrasi memastikan kesehatan primata di pusat rehabilitasi tetap terjadi. Langkah ini, misalnya dilakukan Orangutan Foundation Intenational (OFI) di Tanjung Puting Kalimantan Tengah, Sahabat Bekantan Indonesia di Kalimantan Selatan, dan Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF) di Nyaru Menteng, Kalimantan Tengah.
“Memindahkan primata ke pusat pusat rehabilitasi juga tidak memungkinkan. Kecuali memang mereka sangat terancam. Tahun 2015, hampir 80 orangutan kita pindahkan dari daerah Muara Mangkutup ke hutan yang lebih luas, karena habitatnya terbakar dan tidak mungkin mereka bisa tinggal di situ,” tambah Didik.
Primata Kecil Peru Perhatian
Didik meminta kerja sama masyarakat untuk lebih peduli terhadap perlindungan primata. Jika menemukan primata yang masuk kampung akibat hutan terbakar, seyogyanya mengontak instansi pemerintah seperti BKSDA setempat. Perhappi mendorong pemerintah terus menjaga dan memperbaiki habitat primata di Sumatera dan Kalimantan. Kuncinya adalah menjamin gambut tetap basah, yang akan mencegah kebakaran, serta menjamin kehidupan satwa.
Organisasi ini mencatat, tim peneliti di Stasiun Penelitian Tuanan dalam tigaminggu terakhir terus membantu memadamkan api di sekitar lokasi tersebut. Tim juga membuat lebih dari 100 hidran dan kolam penampungan air serta melakukan patroli titik api.
Perhappi adalah organisasi profesi nirlaba yang berdiri tahun 1993. Organisasi ini membantu pemerintah dalam konservasi primata melalui penelitian, meningkatkan peran serta masyarakat, serta rekomendasi konservasi dan pengelolaan primata. Pekan lalu, 176 anggotanya mengadakan Konggres Primata ke-5 di Yogyakarta untuk membahas isu-isu terkait
Arif Setiawan, Ketua Panitia konggres kepada VOA mengatakan, apa yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan saat ini cukup menjadi perhatian para ahli dan pemerhati primata. Muncul juga kekhawatiran, karena perhatian selama ini lebih banyak diberikan kepada primata besar seperti orangutan atau bekantan. Padahal banyak primata berukuran kecil di Kalimantan yang juga terancam oleh kebakaran hutan.
“Secara umum kita kurang memberi perhatian untuk itu. Malah ada satu lagi presentasi di konggres kemarin, temuan terbaru di Kalimantan Barat ada jenis yang sebelumnya diduga hanya ada di Borneo bagian Malaysia, tapi ternyata ditemukan juga di Danau Sentarum. Ini informasi terbaru juga, bahwa kita punya spesies itu di Kalimantan,” kata Arif, pegiat di Suara Owa .
Arif menambahkan, ada jenis monyet pemakan daun yang belum diteliti. Padahal, mereka juga memiliki peran penting dalam ekosistem. Sejumlah satwa endemik Kalimantan ini dikhawatirkan menjadi korban kebakaran hutan karena pergerakannya yang relatif lambat. Di sisi lain, belum ada data mengenai spesies tersebut, menyangkut sebaran dan populasi. Di hutan yang terfragmentasi, kata Arif, keberlangsungan mereka kian terancam karena tidak tahu harus pindah ke mana.
Arif mencontohkan jenis monyet pemakan daun endemik Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara adalah Lutung berangat (Presbytis canicrus) dan Lutung Dahi putih (Presbytis frontata). Sementara di seluruh wilayah Kalimantan terdapat Lutung merah (Presbytis rubicunda). Temuan terbaru adalah sebaran Lutung bekak (Presbytis chrysomelas) di Danau Sentarum, Kalimantan Barat.
“Bisa jadi mereka punah sebelum sempat kita teliti. Ada satu spesies di Kalimantan Timur, Presbytis canicrus itu yang mungkin paling kritis di antara primata non orangutan, yang paling terancam punah di Kalimantan. Itu juga penelitiannya sangat minim sekali,” tambah Arif.
Indonesia memiliki peran sangat penting dan strategis dalam bidang primata, sebab memiliki 62 dari sekitar 500 jenis primata dunia. Indonesia berada di posisi ke-3 sebagai pemilik jenis primata terbanyak di dunia setelah Brazil dan Madagaskar. Bersama Brasil, Kongo, dan Madagaskar, Indonesia merupakan habitat asli dari 65 persen primata dunia. International Union for Conservation of Nature (IUCN) mencatat, 60 persen primata yang hidup di empat negara tersebut termasuk dalam kategori terancam (threatened), langka (endangered) dan kritis (critically endangered). [ns/ab]