Yuyun Wahyuningrum, wakil Indonesia di ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) mengutuk eksekusi itu. Dia menilai kasus terhadap empat warga sipil yang diadili oleh pengadilan militer saja sudah merupakan keanehan. Dalam sidang AICHR bulan lalu, dirinya sempat menyampaikan keprihatinannya atas situasi di Myanmar dan mendesak agar proses peradilan terhadap keempat warga sipil Myanmar tersebut dihentikan.
Yuyun mendapat informasi eksekusi tersebut dilakukan diam-diam tanpa diketahui pihak keluarga.
"Secara proses ini sangat tidak adil, tidak memenuhi standar-standar bagaimana sebetulnya pengadilan yang adil bagi warga negara, yang berlaku secara internasional. Jadi saya sangat kecewa bahwa otoritas Myanmar tidak mengindahkan seruan-seruan dari masyarakat internasional, termasuk dari lingkup ASEAN sendiri," kata Yuyun.
Yuyun menambahkan Myanmar sebenarnya sudah menghentikan eksekusi mati selama 30 tahun tapi sekarang hukuman mati malah digunakan untuk memberikan efek menakutkan bagi para aktivis pro-demokrasi. Singkat kata, kata Yuyun, motif politik junta adalah menciptakan efek jera.
Yuyun meminta negara-negara yang berbatasan langsung dengan Myanmar membuka perbatasan mereka untuk memberi kesempatan warga sipil Myanmar mengungsi untuk mencari perlindungan.
Pengamat ASEAN dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Pandu Prayoga mengatakan junta Myanmar mengabaikan konsensus yang dihasilkan para pemimpin ASEAN dalam pertemuan di Jakarta April tahun lalu. Eksekusi mati terhadap empat aktivis demokrasi tersebut merupakan sinyal dari pemerintah yang berkuasa di Myanmar bahwa segala bentuk bentuk anti-junta mesti dihukum mati.
"Jangankan negara luar, ASEAN ternyata tidak dianggap oleh negara (anggotanya) sendiri. Itu catatan jelek, loh. itu rapor jelek. Jangankan kita mau bagaimana mengatur negara-negara besar, di anggota kita sendiri saja kita tidak dipedulikan," kata Pandu.
Menurut Pandu, eksekusi mati terhadap empat aktivis antikudeta itu merupakan preseden buruk terhadap proses demokratisasi di Myanmar dan ASEAN secara keseluruhan. Apalagi, dalam satu dasawarsa terakhir muncul laporan-laporan yang menyimpulkan telah terjadinay kemunduran demokrasi di kawasan Asia Tenggara. I “Ini bisa berdampak buruk bagi diplomasi ASEAN di dunia internasional," katanya.
Dia menjelaskan kemunduran demokrasi di ASEAN tercermin dengan menguatnya populisme, politik identitas dan munculnya rezim-rezim otoriter. Di Indonesia juga ada sinyal seperti pembubaran organisasi-organisasi kemasyarakatan. Hal ini akan makin diperparah oleh pelanggaran hak asasi manusia.
Pandu mendesak Kamboja sebagai Ketua ASEAN tahun ini bergerak cepat untuk memastikan lima poin konsensus para pemimpin ASEAN dilaksanakan oleh pihak junta Myanmar. “Jangan sampai muncul anggapan ASEAN melindungi para diktator, pemimpin yang bertindak semena-mena terhadap rakyatnya,” katanya.
Meski begitu, Pandu pesimistis Kamboja akan bersikap tegas terhadap Myanmar dalam menanggapi eksekusi keempat aktivis pro-demokrasi itu. Beberapa rezim militer di ASEAN menghadapi posisi dilematis.
Dia menilai ASEAN selama ini cenderung mengulur-ulur waktu setiap kali menghadapi persoalan internal sampai momentumnya menghilang.
ASEAN sendiri sebetulnya telah mengeluarkan pernyataan yang mengecam keras Myanmar karena telah melakukan eksekusi terhadap empat aktivis demokrasi tersebut, dan menyatakan perbuatan itu sangat tercela.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyampaikan sikap Presiden Joko Widodo terkait eksekusi di Myanmar saat kunjungan ke Jepang. Menurutnya, Presiden Jokowi menyatakan kecewa karena tidak ada kemajuan signifikan dalam implementasi lima poin konsensus.
Jokowi, kata Retno, menyatakan semua perkembangan yang terjadi di Myanmar termasuk hukuman mati terhadap empat aktivis pro-demokrasi menunjukan adanya kemunduran dalam konsensus ini. Jokowi pun mengkritik Junta Myanmar yang saat ini berkuasa.
"Semua perkembangan menunjukan tidak adanya komitmen junta militer Myanmar dalam mengimplementasikan konsensus," kata Retno. [fw/ab]
Forum