Kebijakan lockdown diberlakukan di pusat-pusat rehabilitasi orangutan di Sumatera dan Kalimantan. Bukan terhadap manusia, tapi terhadap kera besar yang sering dianggap kerabat paling dekat manusia ini. Karena wabah virus corona, puluhan orangutan yang tadinya dijadwalkan akan dilepasliarkan terpaksa “ditahan” tanpa kepastian kapan akan dibiarkan bebas berkeliaran di hutan.
Para ilmuwan khawatir, virus itu, yang diduga berasal dari kelelawar dan kemudian hijrah ke manusia, bisa dengan mudah menular ke jenis kera-kera besar, seperti gorila, simpanse, bonobo dan orangutan. Kera-kera itu memiliki kemiripan DNA dengan manusia sekitar 97 hingga 99 persen, dan hampir semuanya tergolong sangat terancam punah (criticaly endangered).
Citrakasih Nente, Kepala Divisi Konservasi Eks-Situ Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP) termasuk yang sangat mengkhawatirkan kemungkinan itu. Menurut dokter hewan ini, jika virus itu menginfeksi salah satu kera liar yang dikembalikan ke hutan dari pusat rehabilitasi, bencana besar mungkin saja terjadi. Virus itu, katanya, akan menyebar tidak terkendali di hutan, memusnahkan semua populasi orangutan dan bahkan mengancam eksistensi satwa-satwa lain.
“Kalau sampai virus itu menyebar di kalangan satwa liar yang ada di alam maka pengendaliannya akan sangat susah, dan mungkin sulit sekali dikontrol,” jelas Citrakasih.
Anjing, kucing, cerpelai, macan dan harimau telah terbukti dapat tertular virus ini, dan dalam banyak kasus hewan-hewan itu tertular virus itu dari manusia. Sebuah studi bersama Universitas Calgary, Kanada, dan Universitas New York, AS, baru-baru ini menunjukkan, kera dan monyet Afrika dan Asia sangat rentan tertular virus ini.
CEO Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF), Dr. Jamartin Sihite, mengatakan, “Sampai saat ini kita belum tahu seberapa mematikan virus ini terhadap orangutan, dan seberapa besar daya tahan orangutan terhadap virus ini. Harimau saja bisa tertular, apalagi orangutan. Karena itu kita tidak mau mengambil resiko sekecil apapun. Tahun ini rencana kami adalah mengembalikan 60 orangutan ke hutan, namun karena pandemi, kami terpaksa menahannya.”
BOSF memiliki dua pusat rehabilitasi di Kalimantan, dan saat ini keduanya tertutup untuk masyarakat umum.
Orangutan, yang bisa hidup lebih dari 50 tahun, adalah kera besar Asia yang hanya ditemukan Sumatra dan Kalimantan. Hampir 85 persen populasinya hidup di hutan hujan Indonesia yang luasnya terus menyusut. Sisanya di bagian utara pulau Kalimantan yang menjadi bagian dari Malaysia.
Lockdown terhadap orangutan sebetulnya membuat kewalahan sejumlah pusat rehabilitasi. Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP) kini terpaksa menampung 76 orangutan, 50 persen lebih banyak dari normal. Sebagai akibatnya, pusat rehabilitasi itu membutuhkan 50 persen lebih banyak makanan, obat-obatan, waktu penanganan, padahal pada saat bersamaan jumlah staf di pusat rehabilitasi itu dikurangi sebanyak mungkin untuk meminimalisasi kemungkinan penularan virus.
Yang tak kalah memprihatinkan, kebutuhan yang melonjak ini diperparah dengan menyusutnya kontribusi dana ke badan-badan perlindungan orangutan, Jamartin mengatakan, “Donasi yang masuk ke BOSF ini sedikit goyang. Dari dalam negeri kami mengalami pengurangan donasi yang cukup besar dan signifikan. Dari luar negeri juga ada tendensi berkurang. Beberapa donatur di luar negeri terdampak Covid-19,”
Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, ada sekitar 72.000 orangutan hidup di alam liar. Sekitar 20 persen hidup di hutan Sumatera, 63 persen di Kalimantan yang masuk wilayah Indonesia, dan sisanya di Kalimantan yang menjadi wilayah Malaysia.
Habitat orangutan menyusut umumnya karena deforestasi, seperti untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit. Di Sumatera Utara, habitat orangutan Tapanuli, spesies orangutan paling langka dari tiga spesies yang ada di Indonesia, menyusut tidak hanya karena penebangan hutan tapi juga karena penambangan emas dan pembangunan Bendungan PLTA Batang Toru.
Menyusutnya habitat, membuat orangutan rentan terhadap perlakukan semena-mena penduduk, yang tidak jarang membunuh induknya untuk mengambil bayi-bayi mereka dam dijual sebagai hewan peliharaan.
Tahun lalu, seekor orangutan Sumatera ditembak 74 kali dengan senapan angin olah seorang remaja yang berniat mencuri bayinya.Induk orangutan itu terluka dan buta akibat tembakan itu, sementara bayinya tewas saat berusaha diselamatkan petugas SOCP. [ab/uh]