Penyalaan lilin untuk mengenang para korban telah menjadi pemandangan biasa di AS. Penembakan di Thousand Oaks, California merupakan mimpi buruk yang terulang kembali bagi Caila Sanford, yang selamat dalam penembakan massal di Las Vegas, Nevada, pada 2017.
"Sudah setahun saya melewatinya. Ini benar-benar situasi yang sulit bagi saya. Saya bisa membayangkan apa yang akan dilalui orang-orang ini," kata Caila Sanford, yang berusia 22 tahun
Saat dalam perjalanan untuk menyumbang darah, dia tidak pernah menduga sebuah penembakan massal lagi terjadi di tempat yang sering didatanginya.
"Masih sulit dipercaya tapi terasa lebih normal," kata Caila menambahkan.
Caila mengatakan peristiwa itu terus menghantuinya.
"Saya berpikir dua kali setiap kali mau pergi kemana-mana. Tidak hanya kemari, tapi juga ke supermarket atau ke mal," ujar Caila.
Dari sebuah penembakan di sebuah bar di California, sebuah sinagoge Yahudi di Pennsylvania, sampai sebuah sekolah di Texas, semua penembakan massal ini terjadi dalam setahun.
"Hidup dalam ketakutan terus-menerus adalah terorisme. Saya rasa insiden seperti ini harus disebut demikian. Kita hidup dalam rasa takut di negara sendiri, dalam perbatasan sendiri, di antara kita sendiri," kata Grace Fisher, seorang ibu beranak tiga
Grace Fisher mendatangi tempat kejadian penembakan di dekat Los Angeles itu untuk menuntut pengetatan kontrol senjata api. Fisher mengatakan dia mengkhawatirkan keselamatan anak-anaknya.
"Sebagian orang mengatakan, 'Oh, ada penembakkan massal lagi.' Ini memuakkan. Saya muak setiap kali insiden itu terjadi karena saya hanya bisa duduk, dan bersimpati, dan saya menempatkan diri sebagai anak-anak itu, orang tua itu,” kata Grace.
“Dan, saya katakan, bagaimana mungkin mereka mengucapkan selamat tinggal, atau selamat malam kepada anak mereka dan ketika bangun keesokan paginya mendapati bahwa anak-anaknya mungkin tidak akan pernah pulang. Ini tidak dapat diterima dan semua anak itu dibunuh di sekolah mereka sendiri," kata Grace menegaskan.
Grace Fisher mendatangi tempat kejadian penembakan di dekat Los Angeles itu untuk menuntut pengetatan kontrol senjata api. Fisher mengatakan dia mengkhawatirkan keselamatan anak-anaknya.
"Sebagian orang mengatakan, 'Oh, ada penembakkan massal lagi.' Ini memuakkan. Saya muak setiap kali insiden itu terjadi karena saya hanya bisa duduk, dan bersimpati, dan saya menempatkan diri sebagai anak-anak itu, orangtua itu,” kata Grace.
“Dan, saya katakan, bagaimana mungkin mereka mengucapkan selamat tinggal, atau selamat malam kepada anak mereka dan ketika bangun keesokan paginya mendapati bahwa anak-anaknya mungkin tidak akan pernah pulang. Ini tidak dapat diterima dan semua anak itu dibunuh di sekolah mereka sendiri," kata Grace menegaskan.
Caila Sanford mengatakan pembahasan mengenai penembakan massal kini menjadi tak terhindarkan.
"Orangtua dan guru kini harus mengadakan pembicaraan dengan anak-anak di sekolah, dan apa yang akan Anda lakukan apabila ini terjadi? Apa rencana Anda? Kemana akan berlindung? Padahal mereka seharusnya tidak perlu mengkhawatirkan hal-hal seperti itu," papar Caila.
Sementara warga AS merespon penembakan massal lewat aktivisme atau kewaspadaan, mereka mulai beradaptasi dengan realita baru ini dan banyak diantaranya akan mengajarkan anak mereka untuk melakukan hal yang sama. [vm]