Dalam Rapat Pimpinan TNI pada 13 Februari 2019 lalu, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahyanto mengusulkan perubahan struktur TNI sekaligus merevisi UU nomor 34 tahun 2004 tentang TNI. Dengan revisi UU tersebut, diharapkan perwira TNI aktif bisa menempati jabatan sipil di lingkungan Kementerian/Lembaga (K/L).
Melihat hal tersebut, anggota Ombudsman RI Ninik Rahayu dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (21/2) menilai, rencana penempatan perwira aktif TNI di berbagai jabatan sipil strategis dikhawatirkan menimbulkan maladministrasi dalam hal konteks penyalahgunaan wewenang dan juga dalam membuat kebijakan.
Padahal, menurutnya sudah jelas sekali dengan apa yang disebutkan dalam PP 11 tahun 2017 bahwa jabatan apapun di bidang aparatur sipil negara (ASN) meminta persyaratan bahwa prajurit TNI harus mengundurkan diri, dan bahkan tidak bisa kembali kalau misalnya dalam proses rekrutmen jabatan tersebut kemudian tidak diterima.
Selain itu dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 juga disebutkan bahwa memang jabatan militer itu adalah jabatan yang tugas dan kewenangannya terkait dengan pertahanan dimana dalam menjalankan tugasnya itu sesuai dengan keputusan dengan kebijakan dan politik negara.
Memang dalam pasal 47 ayat 2 UU TNI memperbolehkan TNI aktif menduduki jabatan tertentu di beberapa lembaga, seperti Mahkamah Agung, Badan Intelejen Negara (BIN), Sandi Negara, Dewan Pertahanan Nasional dan lain-lain.
Oleh karena itu jika ingin menempatkan TNI di luar ketentuan pasal 47 ayat 2 tersebut, harus ada upaya pembuatan keputusan yang diambil bersama dengan pemerintah dan juga DPR.
Maka dalam hal ini kalau TNI menginginkan adanya perubahan tentang tugas pokok dan kewenangan termasuk di lingkup administrasi sipil negara maka ikuti saja aturan di pasal 5. Buat rapat koordinasi dengan mekanisme bagaimana cara membuat keputusan dan kebijakan politik negara itu, antara pemerintah dan DPR. Tidak bisa kemudian pemerintah sendiri yang melakukan.
TNI sendiri yang melakukan karena sesuai dengan pasal 147 di UU ASN jabatan-jabatan yang melibatkan TNI atau Polri dimulai dari permintaan K/L itu atau non K/L itu. Mereka yang minta, bukan TNI yang menawarkan. Jadi kami memandang bahwa keluarnya PP 11 tahun 2017 itu dari pasal 155-158 itu menutup pintu keterlibatan TNI/Polri pada jabatan ASN. Maka ya dipatuhi saja kalau memang menginginkan kesana ya aturannya diperbaiki dulu.
Ketika disinggung apakah rencana perwira TNI aktif yang akan duduki jabatan publik strategis ini bermuatan politis, Ninik dan pihak Ombusdman belum akan menyimpulkan hal tersebut dan akan mendalami lebih jauh.
Pihak Ombusdman juga akan mengundang pihak Kementerian Pertahanan, Kemenko Polhukam, TNI serta para ahli untuk mendiskusikan hal tersebut, agar diperoleh pemahaman yang terang terkait isu ini.
"Nanti kita dalami, kami tidak menjawab ini ada politis atau tidak, sekali lagi seperti yang saya sampaikan dalam pasal 5 memang membutuhkan keputusan dan kebijakan politik negara, bukan politis ya. Membutuhkan keputusan dan kebijakan politik negara untuk mengakomodasi rencana prajurit masuk ke wilayah ASN, menduduki jabatan ASN," jelasnya.
Menanggapi hal ini Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Sisriadi lewat pesan singkat kepada VOA menjelaskan seharusnya pihak Ombusdman menyampaikan hal tersebut kepada Kementerian/Lembaga yang menerima perwira TNI aktif, karena permintaan perwira TNI aktif untuk menduduki jabatan sipil, bukan berasal dari pihaknya, namun dari pihak Kementerian/Lembaga. Hal tersebut juga sudah diatur dalam UU TNI dengan penempatan di lembaga yang berkaitan dengan keamanan negara.
“TNI bukan bagian dari administrative (pemerintahan.red) maka TNI tidak menyelenggarakan administration (pemerintahan.red). Saya sangat yakin beliau-beliau pasti sudah pernah baca dan mengerti betul bahwa TNI bukan badan layanan publik, juga bukan penyelenggara fungsi pemerintahan, tapi ‘alat negara’ yang memiliki tugas pokok menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945," tegas Sisriadi.
"Serta tentunya melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. (Pasal 7 UU 34/2004). Menurut saya, konteks yang mereka sampaikan tidak ditujukan kepada TNI, tetapi kepada kementerian/lembaga yang menerima perwira TNI aktif,” imbuhnya.
Ia pun akui bahwa memang ada dua lembaga lain yaitu Badan Keamanan Laut dan Badan Penanggulangan Bencana yang tidak diatur dalam UU, namun tetap diduduki oleh perwira TNI aktif dengan peraturan presiden (Perpres). Selain itu sesuai dengan pasal 47 UU 34 Tahun 2004 disebutkan prajurit TNI aktif dapat menduduki jabatan pada lembaga negara yang membidangi koordinator politik, keamanan, dan pertahanan negara karena secara fungsional memiliki keterkaitan dengan tugas-tugas TNI, tambahnya.
“Di luar itu, saat ini ada dua lembaga dimana ada jabatan-jabatan yang diduduki Perwira Aktif TNI yaitu Badan Nasional Penanggulangan Terrorisme (berdasarkan Prepres Nomor 46 Tahun 2010 ) dan Badan Keamanan Laut (berdasarkan Perpres Nomo 178 Tahun 2014). Dan baru-baru ini juga ditempatkan di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (Jabatan Kepala BNPB)," jelas Sisriadi.
"Di KKP sesuai Perpres 115/2005 dibentuk Satgas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal yang kepala pelaksana harian-nya dijabat Wakasal. Rasional-nya sama dengan pasal 47 UU 34/2004. Satgas 115 bahkan dalam pelaksanaan tugasnya menggunakan Alutsista TNI AL. Kalau gak pakai, mana bisa menangkap dan menenggelamkan kapal pencuri ikan asing? Alutsista TNI AL tentu diawakin oleh prajurit aktif, kan?," imbuhnya. [gi/em]