Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Kamis (9/5) menyatakan bahwa Israel akan “berjuang sendiri”, menyusul komentar Presiden Amerika Serikat Joe Biden bahwa dirinya tidak akan mengirim senjata yang dapat digunakan Israel untuk melancarkan serangan berskala penuh di Rafah.
“Jika kami harus berjuang sendiri, kami akan berjuang sendiri. Saya telah menyatakan, jika harus, kami akan berjuang sampai (titik darah penghabisan). Namun, kami bisa lebih dari itu. Dan dengan kegigihan yang sama, dengan bantuan Tuhan, kami akan meraih kemenangan bersama,” ujarnya.
Seiring meningkatnya jumlah korban perang di Gaza, pemerintahan Presiden AS Joe Biden pada awal April memperingatkan bahwa negaranya mendukung Israel hanya jika Israel mengambil langkah konkret untuk melindungi warga sipil.
Peringatan AS tersebut menjadi nyata, ketika Israel pada awal pekan ini menyerang Rafah, kota di bagian selatan Gaza dan tempat di mana 1,3 juta warga sipil mengungsi.
Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin mengatakan, “Saat ini kami sedang meninjau sejumlah pengiriman bantuan keamanan jangka pendek, terkait dengan situasi di Rafah.”
Ini adalah pertama kalinya AS mengungkit soal pengiriman senjata untuk mempengaruhi tata cara Israel dalam berperang, sejak serangan teror Hamas pada 7 Oktober lalu.
Kelompok-kelompok pembela hak asasi manusia telah lama menuntut AS untuk menghentikan pengiriman senjatanya, dan menuduh Israel melanggar hukum humaniter dalam menggunakan senjatanya.
Penangguhan ini disambut baik oleh kalangan progresif dari Partai Demokrat pimpinan Biden, namun dikritik oleh anggota kongres dari Partai Republik, termasuk Senator Lindsey Graham.
“Anda ingin mengatur-atur perang? Kita saja menjatuhkan dua bom atom di Jepang setelah (peristiwa) Pearl Harbor. Apakah ada orang di Amerika yang benar-benar mengkhawatirkan hal itu?,” kata Graham.
Menurut keterangan seorang pejabat senior pemerintahan AS, negara itu pertama kali mempertimbangkan untuk menangguhkan pengiriman senjata pada bulan lalu, ketika Israel semakin memantapkan keputusannya perihal Rafah. Namun, pihak Israel tidak serius menanggapi kekhawatiran AS, sehingga pemerintah AS memutuskan untuk menangguhkan pengiriman senjatanya minggu lalu.
Penangguhan itu mencakup 1.800 bom, masing-masing seberat 2.000 pound (sekitar 1 ton), dan 1.700 bom seberat 500 pound (sekitar 0,25 ton).
Pengiriman lain yang tengah ditinjau adalah seperangkat Munisi Serangan Langsung Gabungan (Joint Direct Attack Munition), yang mengubah bom biasa menjadi amunisi berpandu presisi.
Sehari sebelumnya, Biden menegaskan dukungannya terhadap Israel. “Komitmen saya sangat tinggi terhadap keselamatan masyarakat Yahudi, keamanan Israel, dan hak mereka untuk ada sebagai bangsa Yahudi yang merdeka, bahkan saat kami tidak sependapat,” ujar Biden.
Pemerintahan Biden baru-baru ini menyetujui penjualan senjata senilai $827 juta (setara Rp827 juta) kepada Israel. Pada saat yang bersamaan, mereka juga melewatkan tenggat waktu untuk menyerahkan laporan kepada Kongres AS, Rabu (8/5) mengenai apakah Israel melanggar hukum humaniter saat menggunakan senjata AS.
Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS, Matthew Miller, menyampaikan,“Kami terus berupaya menyelesaikan laporan ini. Kami berencana menyerahkannya dalam waktu dekat.”
Bahkan ketika Israel bergerak menuju Rafah, proses negosiasi tetap berlanjut demi mengakhiri pertikaian dan membebaskan sandera yang ditahan Hamas, dengan imbalan berupa pembebasan warga Palestina yang ditahan di penjara-penjara Israel. [br/jm]
Forum