Negara-negara di dunia terus berjuang menghadapi penurunan kondisi kesehatan dan ekonomi akibat virus corona. Data terakhir menyebutkan, lebih dari 1,5 juta orang di seluruh dunia tertular virus itu, dengan lebih dari 90.000 orang tewas.
Di Amerika, Departemen Tenaga Kerja melaporkan, 6,6 juta lagi pekerja mengajukan tunjangan pengangguran pekan lalu, sementara perusahaan dan bisnis tutup atau membatasi operasi. Dalam tiga pekan ini, hampir 17 juta pekerja atau sekitar 10 persen dari jumlah tenaga kerja di AS mengalami pemutusan hubungan kerja.
Di Eropa, para pejabat meminta orang tinggal di rumah dalam Pekan Suci bagi umat Kristen, yang biasanya diisi dengan ziarah dan berlibur.
Di Uganda, empat pejabat pemerintah ditangkap atas tuduhan menggelembungkan harga makanan bantuan. Menurut unit antikorupsi kantor presiden, keempatnya, termasuk pejabat tertinggi akuntansi pada kantor perdana menteri, dituduh "menolak tawaran harga yang lebih rendah dari berbagai pemasok tepung jagung dan kacang."
Di Timur Tengah, koalisi pimpinan Arab Saudi yang sudah lima tahun menggempur pemberontak Houthi di Yaman, menyatakan gencatan senjata dua minggu mulai Kamis sebagai tanggapan atas seruan PBB bagi perdamaian sementara dunia berperang melawan penyebaran virus corona.
Banyak negara menerapkan larangan keluar rumah agar orang tidak pergi sekolah atau bekerja, atau berbelanja yang tidak penting, dengan harapan mencegah penularan baru.
Amerika sejauh ini mencatat kasus terbanyak di dunia, sekitar 430.000. Kluster terbesar adalah di negara bagian New York. Gubernur Andrew Cuomo, Rabu (8/4), memuji upaya tinggal di rumah berhasil dan menekankan, "Kita tidak bisa berhenti sekarang."
Lebih dari 6.000 orang meninggal di New York akibat COVID-19. Negara bagian itu melaporkan rekor tertinggi 779 kematian pada Rabu (8/4). [ka/pp]