Tautan-tautan Akses

Myanmar Pilih Ulat Sutra Dibanding Tanaman Candu


Saw Kyi Ti Mu, 37 tahun, seorang wanita etnis Palaung, mengumpulkan daun-daun murbei sebagai makanan untuk ulat sutra di desa Wanpaolong, Distrik Lashio, Shan State utara, Myanmar, 24 April 2018 (foto: REUTERS/Ann Wang)
Saw Kyi Ti Mu, 37 tahun, seorang wanita etnis Palaung, mengumpulkan daun-daun murbei sebagai makanan untuk ulat sutra di desa Wanpaolong, Distrik Lashio, Shan State utara, Myanmar, 24 April 2018 (foto: REUTERS/Ann Wang)

Keluarga Zhou Xing Ci telah mengusahakan tanaman candu sejak lama, mengikis getah coklat tanaman itu untuk menghasilkan opium.

Bersama dengan banyak petani lainnya di perbukitan Myanmar timur, panen yang hasil akhirnya berupa heroin dan dijual di luar negeri dalam beberapa tahun terakhir menempatkan Myanmar di belakang Afghanistan sebagai sumber candu terbesar di dunia.

"Tradisi itu telah saya hentikan" kata Zhou, 42 tahun, kepada Reuters di rumahnya yang baru terbuat dari kayu dan kokoh di kota Tangyan, di utara Negara Bagian Shan.

Seorang wanita dari etnis Palaung mengenggam kepompong ulat sutra di desa Wanpaolong di Distrik Lashio, Shan State utara, Myanmar, 22 April 2018 (foto: REUTERS/Ann Wang)
Seorang wanita dari etnis Palaung mengenggam kepompong ulat sutra di desa Wanpaolong di Distrik Lashio, Shan State utara, Myanmar, 22 April 2018 (foto: REUTERS/Ann Wang)

Sekarang tahun ketiga Zhou mengembangkan ulat sutra sebagai pengganti tanaman candu dan ia mengatakan mendapat keuntungan lebih cepat yang memungkinkan keluarganya dengan enam anak untuk mengganti pondok bambu mereka dengan rumah yang lebih permanen.

Sebuah perusahaan China yang bekerja dengan petani seperti Zhou berharap, larva penghasil sutera itu dapat membantu para petani, dan negara mereka berhenti dari menghasilkan narkoba.

“Menanam tanaman candu terlalu berat. Hanya satu kali panen setiap tahun dan hujan lebat dapat dengan mudah menghancurkan pekerjaan setahun penuh,” kata Zhou. [ps/ii]

XS
SM
MD
LG