Tautan-tautan Akses

Pemerintah Myanmar Larang Penggunaan Nama Etnis Rohingya


Warga muslim Rohingya di permukiman Aung Minglar, Rakhine, Myanmar. Mereka menolak untuk menyebut diri mereka sebagai orang "Bengali" (foto: VOA/Colin Lovett).)
Warga muslim Rohingya di permukiman Aung Minglar, Rakhine, Myanmar. Mereka menolak untuk menyebut diri mereka sebagai orang "Bengali" (foto: VOA/Colin Lovett).)

Pemerintah Myanmar mewajibkan warga Rohingya untuk tidak menggunakan nama Rohingya, dan harus bersedia menyebut diri mereka sebagai orang “Bengali,” merujuk etnis masyakarakat di Bangladesh.

Bulan ini pemerintah Myanmar melanjutkan proses untuk memberikan kewarganegaraan kepada orang-orang yang sejak lama tidak punya kewarganegaraan.

Namun, proses itu mewajibkan warga Rohingya untuk tidak menggunakan nama yang telah lama mereka gunakan dan harus menyebut diri mereka sebagai orang-orang “Bengali,” yang merujuk pada orang-orang dari Bangladesh.

Di Rakhine, kelompok minoritas Muslim yang disebut Rohingya semakin putus asa sejak kerusuhan etnis mengoyak komunitas itu tiga tahun lalu.

“Kami perlu pekerjaan dan pendidikan. Kami tidak punya uang,” kata Ali, seorang pria Rohingya.

Aung Minglar adalah satu-satunya permukiman warga Muslim di Sittwe dan pernah dilanda kekerasan tahun 2012. Sebagian besar penduduk di sini menyebut diri mereka Rohingya. Menurut mereka, ancaman kekerasan serta diskriminasi karena dilarang memperoleh kewarganegaraan adalah akar dari berbagai masalah.

Seorang bernama Shwe La mengatakan meskipun kekerasan itu telah berhenti, situasinya tetap mengerikan karena warga Rohingya tidak bisa pergi kemanapun karena khawatir akan keselamatan mereka.

“Setelah tiga tahun, meskipun tidak ada aksi-aksi kekerasan, situasi sosial, kesehatan dan ekonomi kami tidak membaik karena kami tidak diperbolehkan keluar dari wilayah kami dengan bebas,” keluhnya.

Agama Islam juga telah menjadi isu panas di Myanmar yang mayoritas penduduknya beragama Buddha. Ada pihak-pihak yang membentuk opini publik untuk menentang Muslim.

Warga muslim Rohingya tinggal di kamp penampungan sementara di kota Sittwe, Myanmar (foto: dok).
Warga muslim Rohingya tinggal di kamp penampungan sementara di kota Sittwe, Myanmar (foto: dok).

Aye Lwin adalah seorang Muslim aktivis lintas agama di Yangon yang bukan orang Rohingya. Ia mengatakan, “Yang terjadi akhir-akhir ini adalah agama dipolitisir oleh orang-orang yang punya kepentingan tertentu.”

Sebagian pemimpin ekstremis Buddha, baik di dalam Rakhine maupun di wilayah lain di Myanmar, khawatir orang-orang Muslim akan mengambil alih kekuasaan di sana.

Kekahawatiran itu dirasakan oleh warga negara bagian Rakhine, seperti Mya Sein yang tinggal di kota Sittwe.

“Kami khawatir akan pengaruh orang-orang Bengali di wilayah ini. Itulah sebabnya kami khawatir dengan masuknya orang-orang Bengali kesini,” tutur Mya Sein.

Gubernur negara bagian Rakhine Maung Maung Ohn mengatakan agama tidak ada kaitannya dengan isu kewarganegaraan bagi warga Rohingya, yang disebutnya sebagai orang-orang Bengali.

“Sebagian orang masih menolak untuk menggunakan istilah Bengali dan ikut dalam proses itu. Jadi masalahnya, apakah mereka menginginkan kewarganegaraan Myanmar atau etnisitas Rohingya?,” kata Gubernur.

Sebagian besar warga Rohingya yang berbicara kepada VOA mengatakan tidak akan pernah mau mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Bengali, sehingga mereka tidak berhak mengikuti proses kewarganegaraan itu.

“Rohingya, Rohingya,” kata kerumunan massa di sana.

Karena warga Rohingya dan pemerintah sama-sama berkeras dengan pandangan masing-masing, kebuntuan yang memecah komunitas masyarakat di negara bagian Rakhine ini agaknya masih akan terus berlanjut.

XS
SM
MD
LG