Ahmed Abdul Moiz adalah mahasiswa pasca sarjana yang berasal dari kota Hyderabad, India. Dia baru saja menyelesaikan program Masternya, dan kini menjalani program doktor di bidang teknik mesin. Selain itu dia juga baru terpilih memimpin organisasi Muslim Student Association di perguruan tinggi Institut Teknologi Michigan, setelah dua tahun sebelumnya aktif sebagai anggota.
Langkah pertama yang ia lakukan memasuki bulan Ramadan ini, menurutnya, adalah mengumumkan hari pertama puasa, dan ini, tambahnya, membutuhkan kearifan untuk tetap menjaga kerukunan di kalangan komunitas Muslim yang kecil di kota Houghton.
“Kami mengumumkan dimulainya Bulan Suci Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri, dan ini adalah masalah yang sangat kontroversial setiap tahun, karena kami memiliki mahasiswa multi budaya. Sekelompok orang mengatakan, kami ikut jadwal Arab Saudi, sementara ada kelompok lain yang memutuskan ingin melihat terbit bulan dengan mata telanjang dari lokasi Houghton di sini, kemudian ada lagi kelompok ketiga yang ikut kalkulasi waktu secara ilmiah.”
Setelah pengumuman dimulainya Ramadan, Moiz dibantu oleh para pengurus organisasi yang lain, menyusun berbagai program yang dilaksanakan dalam bulan puasa ini, yaitu acara buka puasa bersama atau iftar, dan ibadah solat tarawih:
“Yang pertama kami rancang adalah mengusahakan persatuan masyarakat Muslim dalam Bulan Suci Ramadan. Kami mengadakan acara buka puasa bersama pada hari Senin, Rabu dan Jumat, kemudian ditambah pula hari Sabtu. Jadi buka bersama empat kali seminggu di kalangan warga Muslim di Houghton.”
Berbeda dengan kebiasaan berpuasa di tanah airnya, India, yang rata-rata 12 hingga 14 jam sehari, di Houghton, Michigan, kata Moiz, amat panjang, padahal sebagai pengurus panitia Ramadan, dia dan rekan-rekannya harus bekerja ekstra, baik dalam tenaga maupun waktu, untuk memberikan pelayanan kepada jemaah.
"Di sini masa puasanya lama, hingga 18 jam sehari. Kami bangun makan sahur, kemudian berpuasa sepanjang hari hingga waktu berbuka pukul 10:30 malam. Kami mengadakan iftar atau buka puasa dan mengatur berbagai kegiatan keagaman lainnya, jadi harus datang lebih cepat ke aula pertemuan, padahal sebelumnya kami telah bekerja sepanjang hari. Jadi, ini benar-benar tantangan cukup berat.”
Ketika ditanya, apakah ujian yang berat ini tidak lantas menimbulkan godaan untuk menyerah atau tidak berpuasa saja, Moiz menjelaskan,
“Kalau hanya proses berpuasanya, dalam hati-sanubari kami, jelas, ini merupakan hubungan dengan Tuhan, dengan Allah SWT, tetapi sulit membuat orang lain mengerti. Kebanyakan, para dosen akan berkata seperti, ‘OK, Anda berpuasa selama 18 jam, tetapi Anda juga mahasiswa pasca sarjana, jadi harus tetap bekerja.’ Ini adalah situasi yang sulit."
Kendatipun demikian, imbuh Moiz, cuaca di Semenanjung Keewenaw sangat nyaman pada musim panas, sejuk menyenangkan, tidak gerah dan menyiksa, hanya sekitar 20 atau 25 derajat Celcius. Hanya saja, karena lambatnya matahari terbenam, waktu berbuka, ibadah solat Maghrib dan Isya menjadi mundur pula, sehingga rata-rata ibadah solat tarawih baru usai sekitar pukul setengah satu lewat tengah malam.