Para analis mengatakan, penarikan mundur pasukan AS akan menimbulkan perubahan dalam perimbangan kekuatan di Suriah Timur Laut. Presiden AS Donald Trump, Rabu (20/12), mengatakan AS telah mencapai tujuannya mengalahkan ISIS di Suriah sehingga pasukan AS ditarik pulang dari sana. Namun sejumlah analis mengatakan, teroris belum sepenuhnya diberantas di negara yang dikoyak perang itu dan bahwa penarikan mundur itu kemungkinan mengundang mereka untuk kembali bangkit.
Pemerintahan Trump telah mendukung kepemimpinan Kurdi dalam pertempuran darat melawan ISIS, meski ada keberatan dari Turki. Aliansi pimpinan Kurdi yang didukung AS telah berhasil mengusir ke luar para militan dari kubu-kubu pertahanan mereka di Suriah Timur Laut dan menciptakan wilayah otonomi de facto bagi mereka sendiri.
Para pemimpin Kurdi mengatakan, mereka telah kehilangan ribuan nyawa untuk memperjuangkan tujuan Amerika dan kini mereka merasa dikhianati.
Mizgin Gemo, seorang pembuat film keturunan Kurdi, mengatakan, "Ini seperti tikaman dari belakang bagi Kurdi. Saya harap rakyat Amerika mempertimbangkan kembali langkah ini dan memahami bahwa apa yang dikorbankan rakyat Kurdi itu tidak kecil.”
Para tokoh Partai Demokrat di Kongres, termasuk pemimpin minoritas partai itu di DPR Nancy Pelosi, mengecam keputusan tidak terduga ini. "Keputusan itu dibuat tanpa mempedulikan keprihatinan sekutu-sekutu kita dalam perang melawan terorisme. Keputusan yang berbahaya, dan keputusan ini merupakan hadiah Natal bagi Presiden Rusia Vladimir Putin karena seperti memberinya izin di Suriah,” kata Pelosi.
Senator Lindsey Graham dari Partai Republik mengatakan, keputusan itu merupakan preseden buruk. "Saya tidak tahu bagaimana keputusan ini dibuat. Ini benar-benar tak diduga. Ini mengejutkan dunia. Saya bisa katakan apa yang terjadi di Irak akan terjadi di Suriah jika kita tidak membatalkan keputusan ini,” komentarnya.
Sekitar 2.000 tentara AS ditempatkan di Suriah Utara yang berfungsi sebagai zona penyangga antara kawasan-kawasan pemerintah yang didukung Iran dan Rusia, dan kawasan-kawasan yang dikontrol oposisi. Turki tampaknya siap melancarkan ofensif terhadap Kurdi di Suriah Utara untuk mencegah terbentuknya wilayah Kurdi yang independen.
Analis politik David Adesnik dari Foundation for Defense of Democracies mengatakan, Iran akan berusaha menciptakan koridor darat bagi pengiriman senjata ke kelompok teroris Hezbollah. "Ketimbang mengandalkan pesawat-pesawat kargo untuk membawa senjata dan para pejuang mereka ke Damaskus, dan mengirim senjata-senjata canggih ke Hezbollah, kalau mereka bisa menguasai Suriah Timur, di mana AS kini berada, mereka akan memilih jalur darat karena lebih efisien,” kata David.
Selain itu, kata Adesnik, Israel kemungkinan akan terlibat di Suriah untuk menangkal Iran dan Hezbollah, sementara Rusia akan berusaha memasuki wilayah-wilayah yang kaya minyak yang ditinggalkan pasukan AS.
Sejumlah analis, termasuk Aykan Erdemir dari Foundation for Defense of Democracies, mengatakan, teroris sejauh ini masih menguasai sejumlah kawasan di Suriah. "Saya bisa katakan bahwa perang melawan jihadisme, dalan hal organisasi teroris dan ideologi, belum dimenangkan,” komentar Erdemir.
Perancis, yang selama ini menjadi sekutu penting koalisi pimpinan AS dalam perang melawan ISIS di Suriah dan Irak mengatakan, pasukannya akan tetap berada di Suriah Utara pada saat ini. [ab/uh]