Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida, yang secara efektif telah mengumumkan pengunduran dirinya, telah membantu mengubah kebijakan luar negeri Jepang, meningkatkan perannya di kancah global, dan mempercepat ekspansi militer–meskipun menghadapi pertentangan dari dalam negeri yang berujung pada pengunduran dirinya.
Dalam sebuah pengumuman yang tak terduga pada hari Rabu (14/8), Kishida mengatakan bahwa ia tidak akan mencalonkan diri lagi sebagai ketua Partai Demokratik Liberal (LDP) yang berkuasa di Jepang, yang berarti ia akan mengundurkan diri sebagai perdana menteri pascapemilihan kepemimpinan internal partai pada bulan depan.
Selama tiga tahun masa jabatan Kishida, ketegangan geopolitik global meningkat tajam. Kishida merespons dengan mengambil sejumlah langkah untuk menyelaraskan Jepang lebih dekat dengan Barat, serta melonggarkan pengekangan militer pasca-Perang Dunia II yang diberlakukan sendiri oleh Jepang.
Kishida pun meningkatkan anggaran pertahanan Jepang. Di bawah rencana lima tahun yang diluncurkan pada tahun 2022, Jepang sedang berada di jalur untuk menjadi negara dengan anggaran belanja militer terbesar ketiga di dunia, setelah Amerika Serikat dan China.
Di bawah kepemimpinan Kishida, Jepang mengumumkan untuk pertama kalinya bahwa mereka akan membeli rudal yang dapat menjangkau negara lain, mematahkan tabu selama beberapa dekade terkait senjata yang bisa digunakan untuk ofensif.
Kishida juga memperdalam hubungan keamanan Jepang dengan mitra-mitra yang berpandangan sama; tidak hanya memperkuat aliansinya dengan Amerika Serikat, tetapi juga meningkatkan kerja sama dengan Filipina, Australia, Korea Selatan, dan NATO.
Kebijakan-kebijakan tersebut sebagian besar melanjutkan visi mendiang Shinzo Abe, perdana menteri terlama di Jepang, yang menganjurkan kebijakan luar negeri lebih tegas. “Namun, saya rasa Kishida melampaui Abe dalam banyak hal,” ujar Daniel Sneider, seorang spesialis kebijakan Asia Timur di Universitas Stanford.
Di bawah Kishida, Jepang “bergerak melampaui definisi sempit tentang pertahanan diri yang menjadi ciri khas kebijakan keamanan Jepang selama beberapa dekade,” tambah Sneider.
Dampak perang Ukraina
Alasan utama Kishida mampu memberlakukan banyak perubahan signifikan terhadap kebijakan keamanan Jepang adalah invasi Rusia ke Ukraina, yang dimulai empat bulan setelah Kishida menjabat.
“Kishida memahami dengan sangat cepat bahwa ini adalah titik balik yang sangat besar dalam sejarah pascaperang,” kata Sneider.
Meskipun perang Ukraina terjadi di belahan dunia lain, Kishida memandangnya sebagai pelanggaran terhadap prinsip-prinsip dasar tatanan internasional pasca-Perang Dunia II, “yang pertama kalinya tidak menggunakan kekuatan untuk mengubah batas-batas,” kata Sneider.
Bagi banyak orang Jepang, pelajaran dari Ukraina sudah jelas: negara ini membutuhkan kebijakan luar negeri yang lebih proaktif, terutama dengan Rusia yang bersebelahan, China, serta Korea Utara yang semakin berniat mengacaukan tatanan regional pimpinan Amerika Serikat.
“Contoh Ukraina sangat cocok untuk meyakinkan masyarakat Jepang bahwa, berbicara secara damai saja tidak cukup, ada hal lain yang harus dilakukan,” kata Mieko Nakabayashi, mantan anggota parlemen Jepang dan profesor di Universitas Waseda, Tokyo.
“Pak Kishida menggunakan retorika itu dengan sangat baik dan itu bukan hanya retorika, tetapi sebuah kenyataan di dunia. Oleh karena itu, hal itu sangat meyakinkan,” kata Nakabayashi.
Kishida merespons dengan segera bergabung dengan sanksi ekonomi yang dipimpin AS terhadap Rusia. Jepang juga mengirimkan bantuan kemanusiaan dan militer dalam jumlah besar kepada Ukraina, meskipun tidak mematikan, tetapi belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah modern Jepang.
Dukungan Taiwan
Bagi Kishida, fokus kebijakan luar negeri lainnya adalah Taiwan, pulau yang memiliki pemerintahan sendiri yang dipandang oleh China sebagai miliknya dan telah mengancam untuk menginvasi.
Jepang akan sangat dirugikan jika perang regional atas Taiwan meletus. Pulau paling baratnya yang berpenghuni hanya berjarak 100 kilometer dari Taiwan. Dan Jepang menjadi tuan rumah bagi lebih dari 50.000 tentara AS, yang menurut para analis kemungkinan besar akan terlibat dalam konflik Taiwan.
Meskipun Jepang belum berkomitmen untuk membela Taiwan, Kishida telah memperluas dukungan retorika Jepang untuk pulau demokrasi tersebut. Dia juga telah meningkatkan kerja sama keamanan dengan negara-negara yang bertujuan untuk mempertahankan status quo di Selat Taiwan.
Di forum-forum internasional, Kishida berulang kali memperingatkan bahwa “Hari ini Ukraina, mungkin besok akan menjadi Asia Timur,” sebuah pernyataan yang dilihat banyak orang sebagai referensi implisit terhadap bahaya China yang menginvasi Taiwan.
Warisan yang keras di dalam negeri
Kebijakan luar negeri Kishida yang lebih tegas dan sarat dengan norma membuatnya dikagumi di seluruh dunia Barat, tetapi warisannya di dalam negeri lebih rumit.
Selama tiga tahun masa jabatannya, Kishida secara konsisten mendapatkan tingkat persetujuan yang rendah - sebuah survei pada bulan Juli menunjukkan bahwa hanya 15,5 persen orang Jepang yang menyetujui kabinetnya.
Banyak pemilih Jepang yang tampaknya tidak senang dengan penanganan ekonomi oleh Kishida. Tidak hanya kebijakan pemerintahan Kishida gagal memperbaiki stagnasi Jepang yang sudah berlangsung lama, dia dan kabinetnya juga kewalahan merespons inflasi yang baru-baru ini terjadi, berakibat pada meningkatnya harga-harga, terutama setelah perang Ukraina.
Partai LDP Kishida juga menghadapi serangkaian kontroversi dalam negeri, termasuk melibatkan jutaan dolar dana politik yang tidak terdokumentasi.
Menurut Kobayashi, Kishida lebih banyak berupaya untuk melindungi kawan politiknya daripada menguak siapa yang bertanggung jawab di balik tuduhan dana yang tidak dipertanggungjawabkan itu.
“Pandangan tentang Kishida di luar dan di dalam Jepang sangat berbeda,” katanya. “Dia sangat disegani oleh para pemimpin internasional karena peran konsistennya dalam melindungi demokrasi. Tetapi, melihat dari dalam Jepang, dia kurang memiliki sifat kepemimpinan.” [th/uh]
Forum