Nahdlatul Ulama (NU) menggelar Muktamar ke-34 di Pondok Pesantren Darussa’adah, Lampung pada 22-23 Desember 2021. Organisasi Islam terbesar di Indonesia ini tengah berupaya menerjemahkan sejarah panjangnya, dan tantangan perubahan zaman ke depan.
Ketika membuka Mukmatar NU kali ini, Presiden Joko Widodo menekankan perlunya NU mengakomodir potensi generasi mudanya.
“Saya melihat, bahwa kekuatan di NU sekarang, anak-anak mudanya yang pinter-pinter, santri-santri yang pinter-pinter, yang keluaran dari universitas-universitas yang besar dari seluruh negara yang ada di dunia ini,” kata Jokowi, Rabu (22/12).
Jika potensi itu dirajut sebagai sebuah lokomotif, Presiden meyakini lokomotif itu akan mampu menarik gerbong di bawah untuk bersama-sama mensejahterakan bangsa.
Jokowi juga bercerita bagaimana peran Indonesia ke depan, terutama selama kepemimpinan G20. Indonesia ingin mempengaruhi kebijakan dunia yang berpihak pada negara-negara miskin, khususnya terkait digitalisasi, perubahan iklim dan ekonomi hijau.
Melihat peran panjang NU bagi Indonesia selama hampir satu abad, Presiden tidak lupa menyampaikan terima kasihnya.
“Terima kasih yang sebesarnya kepada NU, yang terus mengawal kebangsaan, mengawal toleransi, mengawal kemajemukan, mengawal Pancasila, mengawal UUD 1945, kebhinekaan, dan NKRI. Dan kita harapkan, dengan itu kita terus bisa menjaga dan merawat bangsa dan negara kita yang kita cintai,” tambahnya.
Empat Tantangan NU
Muktamar kali ini diselenggarakan saat usia NU menginjak angka 95 tahun pada hitungan Masehi atau 98 tahun pada penanggalan Hijriah. Temanya adalah Satu Abad NU Kemandirian dalam Berkhidmad untuk Peradaban Dunia.
Dalam pidato muktamarnya, Rais Aam PB NU, KH Miftachul Akhyar, menyebut NU perlu melakukan empat langkah besar, yaitu ide besar, disain besar, strategi besar dan kontrol menyeluruh.
“Visi-misi NU sebagai instrumen untuk menyatukan langkah, baik ulama struktural maupun kultural, terutama para ulama pondok pesantren, agar berapa dalam satu langkah dan satu keputusan untuk menggalang kekuatan bersama,” kata Akhyar mengenai apa yang dia sebut sebagai ide besar.
Sedangkan disain besar, dijabarkan Akhyar sebagai program-program unggulan yang terukur. Tantangan NU saat ini adalah menghadirkan orang-orang yang akan menyegarkan kembali aturan-aturan yang sudah ditinggalkan, kata Akhyar.
Terkait strategi besar, Akhyar memaparkan langkah ini dilakukan dengan mengintensifkan penyebaran inovasi yang terencana, terarah dan dikelola dengan baik. Selain itu juga distribusi kader-kader terbaik NU ke ruang-ruang publik.
“Kader kita saat ini belum berperan maksimal di semua ruang-ruang publik yang ada. Karena itu perlu ada grand strategi terkait peranan kader-kader kita,” ujar Akhyar.
Sedangkan kontrol menyeluruh, dijabarkan Akhyar sebagai sistem dan gerakan NU, yang harus bisa melahirkan garis komando secara organisatoris dari PB NU hingga ke pengurus anak ranting.
Peran Nasional NU
Dalam diskusi pra-muktamar pada 19 Desember, pengamat Indonesia, Greg Barton dari Universitas Deakin Australia mengurai peran NU bersama Muhammadiyah dalam masa transisi demokrasi di Indonesia. Ketika Soeharto turun, kata Greg, sempat ada pesimisme mengenai masa depan Indonesia. Para pakar ketika itu menilai Indonesia membutuhkan kelas menengah yang kuat agar behasil dalam proses transisi demokrasi. Namun menurut Greg, seharusnya harapan juga ditujukan pada peran NU dan Muhammadiyah.
“Analisa itu sebenarnya kurang lengkap, karena memang pada saat Pak Harto lengser, ada masyarakat madani yang cukup luas dan cukup dalam tetapi tidak kelihatan, karena ini berkaitan dengan Ormas Islam, yaitu Muhammadiyah dan NU,” ujar Greg.
Kedua Ormas Islam itu, lanjut Greg, memberi sumbangan luar biasa untuk gerakan nasionalisme. Kemunculan Habibie dan Gus Dur, yang bergantian sebagai presiden di masa transisi, tidak akan sepenuhnya berhasil tanpa dukungan NU dan Muhammadiyah. Greg bahkan menyebut sumbangan NU terhadap masyarakat madani termasuk yang paling penting dan menonjol.
Peran besar itu juga dicatat Siti Ruhaini Dzuhayatin, guru besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sekaligus tokoh Muhammadiyah. Menurutnya, NU dan Muhammadiyah telah matang sebagai masyarakat sipil, jauh sebelum Indonesia resmi menjadi sebuah negara. Karena itulah, Indonesia menjelma menjadi negara yang berbeda, misalnya dengan Afghanistan yang juga memiliki mayoritas muslim.
“NU sangat kuat sekali di sipil, sangat kuat sekali menjaga otoritas sipil di dalam mengelola keagamaan yang beragam,” kata Siti.
Indonesia berbeda dengan Afghanistan, lanjut Siti, karena kekuatan masyarakat sipil yang membentuk negara. Sementara di Afghanistan, negara atau state hadir dan kemudian berupaya membangun bangsa. Ketika itulah, perebutan atas corak identitas kebangsaan, menjadikan Afghanistan bangsa yang terus berkonflik.
Peran Global NU
Sesuai tema muktamar kali ini, tokoh muda NU, Nadirsyah Hosein dari Monash University Australia, menyebut NU harus bergerak lebih luas untuk menunjukkan perannya dalam skala global.
“Lambang NU itu bola dunia, sehingga memang ada isu-isu global yang saat itu mempengaruhi berdirinya NU,” ujarnya.
Namun menilik seratus tahun pertama sejarah NU, menurut Nadirsyah, karakter organisasi ini ternyata lebih bersifat lokal. Gerakannya tidak seperti gerakan Islam transnasional yang memiliki berbagai agenda dalam skala dunia. Gerakan lintas benua, tambah Nadirsyah, ciri-cirinya tidak terdapat di NU.
NU, kata Ketua Pengurus Cabang NU Istimewa Australia-Selandia Baru ini, diisi kekuatan lokal. Organisasi ini, juga tidak pernah menyinggung pusat kekuataan Ormas Islam transnasional, meskipun sering bersinggungan dengan gerakan mereka di Indonesia.
“NU lebih bersifat defensif, menjaga komunitas sendiri. Dan NU juga lebih fokus pada isu-isu lokal, termasuk politik nasional dan politik lokalnya. Karena itu, di seratus tahun kedua, kita mendorong agar NU bisa lebih aktif di dalam merespons isu-isu global,” lanjut Nadirsyah.
Tema muktamar kali ini, kata Nadirsyah, sekaligus menjadi otokritik bagi NU sendiri. Ketika memilih kemandirian dalam berkhidmat, jelas kondisi itu belum ada. Sedangkan soal membangun peradaban dunia, kata Nadirsyah, adalah otoktitik dalam perjalanan seratus tahun NU pertama, bahwa NU lebih merespons isu lokal dibanding isu global.
“Apakah ada isu global yang direspons? Tentu ada, tetapi sangat sporadis dan isinya, saya kira, tidak bisa mempengaruhi wacana di dunia,” tandasnya. [ns/ab]