Pemilihan Kepala Daerah di 270 kabupaten dan kota seluruh Indonesia yang rencananya digelar pada Desember 2020, memunculkan kerawanan baru terkait keterlibatan sekitar 500 ribu anak yang memiliki hak pilih. Mereka adalah yang sudah berusia 17 tahun atau sudah pernah menikah. Belum lagi orang tua yang kerap mengajak serta anak-anak mereka dalam kampanye yang rawan memunculkan kekerasan terhadap anak.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Putu Elvina, mengatakan aksi unjuk rasa dan kampanye rentan menjadi lokasi kekerasan terhadap anak. Putu Elvina mengatakan, pembenahan harus segera dilakukan terhadap aturan yang ada, agar potensi kekerasan dan penyiksaan terhadap anak tidak terus terjadi.
“Beberapa area rentan kekerasan dan penyiksaan terjadap anak, itu misalnya di wilayah-wilayah saat protes atau demo di lokasi. Bagaimana kemudian kita tahu di berita-berita sebelumnya banyak gambar atau dokumentasi terkait itu," kata kata Putu Elvina.
"Lalu yang kedua adalah saat diamankan, atau saat penangkapan, itu rentan terjadi kekerasan. Lalu kemudian saat proses lidik maupun sidik. Nah, dalam konteks penegahan penyiksaan, area-area inilah sebenarnya yang menjadi signifikan untuk kemudian dilakukan pembenahan sebagai upaya pencegahan,” lanjutnya.
Putu Elvina menambahkan, sampai saat ini belum ada protokol baku yang mengatur teknis penanganan anak yang terlibat dalam unjuk rasa atau anak yang berurusan dengan hukum, sehingga potensi kekerasan masih terjadi. Padahal di dalam konvensi hak anak, ada empat prinsip yakni non-diskriminatif, kepentingan terbaik bagi anak, hak tumbuh kembang dan perlindungan, serta mendengar pendapat anak yang harus dikedepankan.
“Ternyata belum ada protokol baku yang bisa dimplementasikan oleh semua sektoral, yang ada sekarang adalah aturan-aturan yang bersifat surat edaran, atau telegram, yang sifatnya masih parsial dan terbatas. Tidak ada aturan main yang jelas terkait protokol bagaimana penanganannya,” ujar Putu Elvina.
Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI, Abhan, mengatakan Keterlibatan anak di dalam kampanye Pemilihan Umum (Pemilu) harus dapat diantisipasi jauh hari sebelum kampanye pemilu itu dilaksanakan. Orang tua harus menjadi sasaran utama kampanye, agar anak tidak dilibatkan dalam kampanye yang rawan memunculkan kekerasan, baik sebagai korban maupun yang turut serta melakukan.
“Untuk menghindari pelibatan anak dalam kampanye dan politik praktis, sudah seharusnya dilakukan suatu kampanye jauh-jauh hari sebelum waktu kampanye itu tiba, dengan target dan sasaran keluarga untuk tidak mengizinkan atau mengajak anak-anak dalam kampanye Pemilu.Jika ayah ingin ikut kampanye sebaiknya anak di rumah saja misalnya,” papar Abhan.
Abhan menyebut telah ada perjanjian kesepahaman atara Bawaslu dengan KPAI, yang memastikan perlunya tindak lanjut tindakan hukum terkait pelaporan dugaan pelibatan anak dalam kampanye Pemilu, serta mobilisasi dan eksploitasi anak untuk kepentingan politik praktis. Hal ini karena Undang-Undang Pemilu tidak menyebut secara jelas mengenai sanksi bagi pelibatan anak dalam kampanye.
Abhan juga mengingatkan perlunya perlindungan anak selama Pemilu, terutama di masa pandemi corona ini. Perlindungan yang dimaksud adalah terkait isi kampanye melalui media daring maupun media konvensional, yang diharapkan memperhatikan hak-hak anak.
“Bagimana konten-konten media daring yang juga harus melindungi kepentingan anak. Jangan sampai nantinya konten-konten di media daring atau media mainstream misalnya, itu juga melanggar dari ketentuan di dalam Undang-Undang Perlindungan Anak. Saya kira inilah butuh sinergitas antara Bawaslu dengan lembaga lain yang punya kewenangan ini,” tandas Abhan. [pr/em]